4. Is It Tragic or Moronic?

10.1K 1.3K 442
                                    

Draco Malfoy menyusuri lorong kastil dengan kaki jenjangnya. Entah menuju ke mana, ia hanya mengikuti kakinya melaju. Pikirannya penuh dan akan meledak jika dekat-dekat dengan manusia kekurangan muatan otak seperti Weasley. Yeah, si Weasley itu marah-marah karena si Ketua Murid tidak menempatkannya dan Granger untuk berpatroli bersama. Dan Draco, yang sudah mendapat bagian di mana ia akan berpatroli, langsung pergi dari hadapan para Prefek dan Ketua Murid. Kelakuan Weasley itu benar-benar membuatnya pusing.

Mengabaikan Mrs. Norris yang mengeong curiga ke arahnya, Draco terus berjalan. Ketahuan Filch pun percuma saja, Squib kotor itu tak bisa memberinya detensi.

Kini ia berdiri di tepi jendela, memandang purnama keperakan yang sinarnya memantul ke riak air Danau Hitam. Ia sempat bertemu dengan Baron Berdarah tadi, dan memberitahu ke mana perginya Peeves pada hantu penghuni asramanya itu.

Nyatanya Baron Berdarah tidak semenyeramkan itu. Penghuni asrama Slytherin lainnya terlihat santai mengobrol dengan Baron Berdarah, hanya saja mereka tidak mengobrol di tempat terbuka. Hanya di dungeon atau di Ruang Rekreasi Slytherin.

Draco bingung harus berkata apa saat pertama kali mendengar cerita hidupnya. Membunuh orang yang kau cintai lalu membunuh dirimu sendiri karena merasa bersalah, sudah cukupkah untuk dibilang tragis? Atau lebih tepatnya bodoh? Dan mengetahui keduanya kini tinggal berdampingan, setidaknya di kastil yang sama, tidakkah itu canggung? Sudahkah mereka berdamai?

Dan selama dua minggu ini pula Draco memikirkan hal yang sama. Ia tahu Harry Potter tidak mencintainya, tapi ia memintanya untuk jangan pergi dan tetap tinggal. Tentu saja itu tindakan bodoh. Ayahnya akan mencoret marga Malfoy di nama Draco jika tahu putranya mengemis-ngemis meminta seseorang untuk menjadi miliknya. Tapi jika ia menyudahinya, tidakkah mereka akan merasa canggung seperti Bloody Baron dan Grey Lady ketika berpapasan di koridor yang sama? Akankah mereka kembali bermusuhan?

Ia mencintai Harry. Itu benar. Ia tak meragukannya. Tapi orang lain, bahkan Harry sendiri malah meragukannya. Bukan apa-apa, ia sendiri bingung harus bagaimana mengekspresikan cinta itu. Tumbuh di keluarga yang penuh dengan peraturan politik Darah Murni yang ketat dan ayahnya yang mendekam di Azkaban sejak ia berumur satu tahun membuatnya tak mengerti apa itu cinta.

Apakah sama seperti Theodore Nott yang heboh sendiri saat gadis incarannya menerima ajakan kencannya waktu ia di tahun ketiga dulu? Atau ketika Pansy Parkinson yang menjerit ketika Adrian Pucey mengedipkan sebelah matanya ke gadis itu?

Tidak. Draco yakin bahwa cinta lebih daripada itu semua.

Lalu, apakah perutnya yang berjungkir balik dan dadanya yang berdegup kencang ketika melihat Harry Potter--bahkan dalam jarak yang cukup jauh--bisa disebut cinta?

Tidak, jawabnya. Itu sama saja seperti Theo dan Pansy. Terlalu muluk dan kekanakan.

Dan--apakah Bloody Baron yang menghabisi nyawanya sendiri demi menebus dosanya atas pembunuhan orang yang dicintainya bisa disebut cinta?

Oh, sudahlah. Memikirkan itu semakin membuatnya sakit kepala.

"Sesuatu mengganggu pikiranmu, Draco?"

Draco menoleh dan mendapati Pansy yang berjalan ke arahnya. Lalu ia mengalihkan pandangannya untuk kembali mengagumi sang Luna.

"Mungkin."

Pansy tersenyum kecil, ia berdiri di samping Draco. "Ada apa? Kau terlihat kacau sekali."

Draco menghela napas. "Apa aku egois, Pans?"

Pansy mengernyitkan dahinya. "Egois bagaimana?"

Punggung Draco disandarkan ke kusen jendela, kelabunya menatap Pansy. "Aku memaksanya berkencan, tapi ia tidak mencintaiku, bahkan menyukaiku saja tidak."

Admiring The Night [Drarry] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang