bag 9 ,

9 2 3
                                    


Ternyata aku bisa.
Berani sekali mulut manisku mengatakan tiga kata itu. Hanya karena seminggu sudah kulewati hubungan LDR ku dengan Garda yang tengah mengadu nasib di Kota Magelang sana. Ya bangga mendominasi rasa di dada ku saat bisa melewati 7 hari tanpa hadirnya. Huhh,susah memang. Makanya aku patut jumawa bukan? Kalian tahu apa yang kulakukan semingguan ini?

Menangis

I know,mungkin akan terdengar childish. Tapi memang begitu adanya. Aku terlalu rindu,terlampau menginginkan sua dengan laki-laki dengan tinggi 194 cm itu. Payah. Aku mengakuinya. Video call sudah setiap waktu dilakukan namun tak terobati jua rindu ini. Garda cuma bisa memandang sendu pada mata sembabku. Ia menawari diriku untuk menyusul. Untung otak warasku masih bekerja. Menolaknya adalah hal yang benar. Karena jika aku disana namaku bukan Rasi lagi melainkan beban. Meski sudah berderai-derai air mata kuputuskan untuk tidak menyerah begitu saja. Seperti yang kusabda penuh tenaga waktu di pantai. Aku tak mau dikalahkan oleh jarak. Kami kuat dan pasti bisa menaklukanya. Ya.

Kesibukanku kala Garda merantau masih sama. Menyiapkan skripsi dan persiapan sidang yang sudah didepan mata. Gelar sarjana sebentar lagi kusandang dibelakang nama. Menyusul sang lelaki yang lebih dulu menyelesaikan juangnya setengah tahun lalu. Kemudian kita akan kembali berkutat dengan dunia pendidikan. Mengejar srata dua/master di luar negeri. Merajut indah cita yang kami gaungkan sejak 5 tahun ini.

"Mewek teroosss ,...ga capek nangis mulu dek,jelek gini lagi." sontak aku melotot pada pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan Afarel Raiden Ahmad. Bapak2 dua anak itu tak henti mengejeku seharian. "Pa why aunty look like monster?" sialan! Bukan hanya Bapaknya,anak berumur 6 tahun berkelamin laki-laki yang merupakan darah dagingnya pun mencemoohku dengan lidah cadelnya. Kuduga akan ada seorang lagi yang akan mengomentari

"Tuhh ciaa aunty Beras lagi nangis. Tuh kalo nangis kaya apa? Monsstell hahaha." kan. Tapi itu fakta. Tanpa menimpali ku telungkupkan kepala berhargaku semakin dalam pada bantal. Yang mengundang tawa geli dari segerombol perundungku. Keluarga kecil itu melangkah menjauh tanpa menghentikan kekehanya. Meninggalkan aku yang lagi, menerawang jauh perjalanan kasih antara aku dan Garda. Tak terasa waktu bergulir cepat,7 tahun bagai dekat dengan hari dimana pertama kalinya senja menjamah hatiku. Mencetak tempat penting dihati. Benar kan?, baru kemarin kami menjajaki dunia SMA. Mengikuti MOS, menjalani drama ala-ala remaja labil. Membuat ikatan yang tak kami sangka bisa bertahan hampir satu dekade.

Dering ponsel mengusaikan nostalgiaku. Tercantum nama " Mas Masdep😗" di benda pipih itu. Aku terkikik. Nama kontaknya pun tak aku ganti 7 tahun ini.

"Garda jahat!" semburku setelah menggeser simbol gagang telepon keatas. Sosok tampan dilayar ponselku mengangkat sebelah alisnya. Bingung.

"Kamu mah nggak salam,nggak nyapa malah ngatain jahat." Hampir aku menarik sudut bibirku kala Garda memanyunkan bibirnya. Wajah gagahnya tak pantas dengan ekspresi itu.

"Aku jahat kenapa coba?" tanyanya lagi.

"Gara2 kamu aku dibully_" Garda melotot dan memotong kalimatku.

"Kamu dibully?!" ciee khawatir ciee.

" iyah,dari kemarin. Sekeluarga lagi yang bully,apalagi tuh si Rean kakaknya cia. Ngatain mulu...katanya antenya kayak monster. Yang paling parah bapaknya bilang aku kek istri ditinggal mrantau." Mendengarnya sontak Garda menurunkan bahunya yang semula tegak karena tegang. Dia meraup wajahnya lalu terkekeh. Kelihatan sekali pacarku itu letih. Rona mukanya pucat. Kantung matanya hitam menandakan ia tak cukup beristirahat.

" Gar bobo gih. Kamu kek zombie." Aku yakin alisku luruh kebawah. Aku sedih. Karena aku tahu dibalik lelahnya ia menyempatkan untuk menghubungiku. Kata-kataku untuk terus memberi kabar pasti membebaninya. Iya. Aku egois.

"Rasi ngantuk?" aku mengangguk mantab.

" ga kangen?" sial!  Aku mendongak untuk menahan air mataku yang hendak menghambur keluar. Pertanyaan apa itu? Dia nggak liat apa ya mataku bengkak kayak gini nangisin dia.

"Kata Kak Farel kamu nangis terus. Aku jadi pengen pulang, aku ....pengen.... kangen kamu Ras." Garda menunduk. Kita tuh alay ya kan?

"Aku sidang minggu depan Gar." ucapku dengan senyum lebar. Garda mengangkat wajahnya. Ia tersenyum antusias.

"Beneran?," tanyanya antusias. Kami sepasangan manusia berpenyakit rindu yang sedang berobat. Kami dua insan yang ingin sembuh dengan bertemu.

" dikit lagi Gar,bentar lagi aku kesana. Dan untuk pertama kalinya aku yang berjalan kearah kamu." Aku menunduk. Benar. Jika kalian telah meng'hebat'kan aku karena kokohnya hubungan tujuh tahun ini kalian salah sasaran. Garda. Alkana Garda Alvianlah orangnya. Ia yang selalu berkorban, yang selalu tegak menghadang ombak untuk hubungan kami, sosok yang bertanggung jawab dan pemberi perhatian penuh. Bahkan ia kuat dengan sikap manjaku yang kelewatan. Dengan gentlenya mengalah walau ia tak salah. Oke cukup, nanti readers pengen.

" no Ras, selama ini kita bertahan selama ini kita berjalan bersama bukan saling mengejar." Priaku. Yang kata-katanta selalu bisa menyejukan hatiku. Garda menoleh kesamping denfan punggung tangan berada di mulutnya. Ia menguap. Bayi besarrku, jika ia disini akan kuusap rambut halusnya dan ia akan tertidur dipangkuanku.

"kamu harus tidur Gar, aku ga mau kamu sakit." Garda tersenyum ia tak akan menungguku menyuruhnya sampai tiga kali. Kepalanya mengangguk sekali ia tersenyum manis sambil melambaikan tangan.

"istirahat yang cukup. Tunggu aku nyusul kamu yaaa jalja chagiii saranghaeee..." aku terkikik saat dagi Garda menngernyit mendengar kata terakhirku.

seribu senja satu rasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang