⑺Aku tak tahu.
Entah sejak kapan aku menjadi begini. Entah sejak kapan semuanya dimulai. Aku mulai melihatnya dengan tatapan yang berbeda, dunia sekitarku terasa lebih hidup dengan berbagai warna baru dan apapun terasa lebih ringan ketika bersamanya. Semua menjadi berubah saat ia muncul di waktu yang kujalani. Hal kecil yang ia tunjukkan juga begitu berpengaruh terhadap apapun yang ku lakukan. Bahkan dalam situasi apapun, ia selalu bisa menghidupkan daun layu yang kering menjadi hidup dan segar kembali. Bertemu dengannya, mengenal kepribadiannya, kesukaannya, dan keindahan dirinya, adalah suatu hal yang paling tidak terduga. Aku tidak berencana untuk menjadi seperti ini. Tidak sama sekali. Tapi dia, yang sedari awal sudah memberikan begitu banyak cahaya kedalam ruamg yang hampir redup ini, telah berhasil membuat satu rencana baru di hidupku.
Aku menyukainya.
Aku ingin melindunginya.
Maka dari itu aku harus melakukan rencana baruku yang sudah kupikirkan sejak lama.
Harus.Tetapi, kenapa hari ini dia terlihat sangat sedih? Ekspresinya sedihnya sudah ada dari pagi tadi di lokasi syuting hingga malam ini. Ia yang menangis saat syuting berakhir sangat melekat dipikiranku. Sulit untukku ketika melihat wajahnya yang murung, kemana senyuman cerianya yang selalu ia tunjukkan?
Aku ingin menghiburnya.
Wajahnya terlihat bingung saat aku memberikan sepotong daging ke piringnya yang khusus aku panggang untuknya. Ia sangat menyukai daging sapi, aku ingat itu. Aku ingat betapa antusiasnya dia saat bercerita tentang keahlian memasaknya, makanan kesukaannya dan rumah makan favoritnya. Ia sangat suka daging sapi, tapi malam ini ia terlihat tidak terlalu menyukainya. Aku mendengar bisikannya kepada Yongji, yang bilang kalau ia sedang tidak berselera untuk makan.
"Kenapa? Kau tidak mau makan? Apa kau mau dagingnya kubungkus dengan daun selada dulu baru mau kau makan?" Tanyaku pada dia yang langsung mengambil dan memasukkan potongan daging yang telah kupanggang tadi ke mulutnya. Pipinya yang tembam terlihat sangat menggemaskan saat mengunyah. Makan, adalah salah satu hobinya. Dan melihatnya makan dengan lahap adalah hobiku.
"Aku juga memberikan bumbu rasa cinta ke daging yang kau makan itu."
Kukira dengan lelucon yang kulontarkan kepadanya akan membuatnya tertawa geli, tapi ia malah terbatuk-batuk. Ya, aku memang bodoh. Bodoh sekali sampai mengira lelucon itu bisa membuatnya tertawa. Aku malah membuatnya tersedak karena lelucon murahanku. Sekarang, dia sedang berada di toilet. Aku sudah tidak fokus dengan topik perbincangan para kru, Dohwan dan Yongji. Lagipula perbincangan mereka juga sudah mulai melantur. Yang kupikirkan sekarang hanyalah, bagaimana cara aku menjalankan rencanaku. Rencanaku adalah, datang ke pesta perpisahan, duduk disatu meja dan berhadapan dengannya dan tidak minum banyak agar tetap tersadar sampai rencanaku berjalan. Aku mulai mengetik pesanku untuknya dan menatapnya yang baru saja kembali dari toilet. Memintanya untuk mengecek pesan yang kukirim ke ponselnya. Tanpa mengucapkan satu patah kata pun, aku bergegas keluar menuju area samping rumah makan.
Walaupun musim semi akan berakhir, tapi malam ini cukup terasa dingin. Semoga cuaca dingin kali ini dapat membantu otakku berpikir secara dingin juga. Karena rencana ini sudah sejak lama kupikirkan, kalimat yang akan kuucapkan juga sudah kusiapkan. Mulai dari kalimat awal yang manis hingga kalimat penutupnya juga sudah kuingat. Sambil menunggunya datang, aku mulai membayangkan berbagai respon seperti apa yang akan ia tunjukkan nanti.
'Apa!? Sunbae menyukaiku!!?'
'Hahaha tidak mungkin. Apa kau sedang manjahiliku?'
'Apaan sih? Sunbae, apa kau sadar dirimu itu tidak cocok untukku!'
KAMU SEDANG MEMBACA
Us, Ours
FanfictionCerita tentang mereka yang di satukan oleh takdir. Cerita tentang 'kita'. Cerita milik 'kami'. "𝐂'𝐞𝐬𝐭 𝐩𝐚𝐬 𝐦𝐨𝐢 𝐪𝐮𝐢 𝐭𝐞 𝐜𝐡𝐞𝐫𝐜𝐡𝐞, 𝐌𝐚𝐢𝐬 𝐥𝐞 𝐝𝐞𝐬𝐭𝐢𝐧 𝐪𝐮𝐞 𝐧𝐨𝐮𝐬 𝐫𝐞𝐭𝐫𝐨𝐮𝐯𝐞 ...."