Telepati

11 1 0
                                    

Terbawa angin sobekan nafasnya. Berbisik gejolaknya; sudah bukan rahasia kelaparan disana. Kita lupa untuk apa,  juga kehabisan suara (kau membuang ludah)

Terbawa angin sobekan-sobekan nafasnya. Tergolek diantara sampah-sampah kantong belanja (begitu memecah,  membuncah). Mendadak kita memejamkan mata. Sayup sayup terdengar isyarat kata yang menggerutu,  ia mencuat dari baju-baju basah para buruh upah murah.

Langit masih kelabu, semilir angin mendesau risau berkabut waktu.  Maka tenanglah, sebab ceruk-ceruk merelakan karang batu tegak sepanjang mambang tanpa memeram dendam. Dibiarkannya juga air mengalir santai disitu,  kadang mereka bergurau.  Begitu juga mata dan airmata kita

Gerimis tiba-tiba,  mungkin langit juga ingin berbicara tentang rentetan kebakaran hutan yang sangat jelas ia saksikan dari ufuk matanya.

Pun nafas tercekat asap di paruh waktu, bunga-bunga layu. Ada yang sedang memikul impianmu, ada yang sedang menangis di ruang tunggu (lorong-lorong rumah sakit menjerit mencekit kata irit). O pasien yang amnesia hilang bermetafora, ia berdansa di kesunyian nelangsa. Menyematkan abunya sendiri dan memudar bersama teka teki hidupnya yang hanya ia pahami lewat telepati selama ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 30, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bumi Di Reruntuhan LarikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang