🎃 MANTAN || 10 🎃

19.4K 3.4K 120
                                    

Aswa menghembuskan napas, mata bulat yang ia miliki kini masih fokus memandangi langit-langit kamar almarhumah sang Ibu. Rindu. Ia rindu pada sosok ibu yang selalu menjadi motivatornya, penyemangatnya, tujuannya, Aswa rindu sang ibu.

Sedari dulu, jika Aswa tengah merasa kesepian, rindu, atau jika Aswa sedang menanggung beban yang berat, maka, Aswa akan mendatangi kamar ini. Kamar ibunya yang senantiasa selalu Aswa jaga, baik dari kebersihannya atau pun kerapihannya. Aswa membuat seolah-olah kamar tersebut dihuni oleh seseorang. Di sana ia biasa menangis sembari melaksanakan salat. Menumpahkan semua yang menjadi kerumitan hidup dan kebahagian hidup, kepada Allahurabbi.

Karena sesungguhnya tiada tempat paling nyaman selain di atas sajadah, tiada tempat berbagi paling indah selain kepada Allah. Allah adalah penopang, yang selalu menghibur hambanya di saat rapuh, yang selalu menuntun kala hambanya tersesat, yang mau menjadi harapan kala hambanya putus asa.

Aswa ... begitu bersyukur, karena Allah masih memberi dirinya kesempatan untuk mengenal Islam dan Tuhannya dengan lebih baik lagi.

Krukkkk.

Aswa berdehem, kala mendengar suara dari perutnya sendiri. Ah, ia lupa, pagi ini ia belum mengisi perut. Sebenarnya, Aswa sedang tidak pergi ke toko bunga, meski ini weekend dan keadaan toko sedang ramai-ramainya. Entah kenapa, sejak beberapa hari yang lalu, Aswa merasa ada yang salah dengan badannya. Jadi, dari pada kenapa-kenapa, atau malah menjadi sakit lebih parah, lebih baik Aswa istirahat saja, dan merengek pada Khusna agar mau membantu-bantu Siti di toko.

Meski tidak enak juga sih, seharusnya hari ini kan, Khusna libur. Mengistirahatkan diri di rumah, tapi kini, Aswa malah merepotkannya. Ah, Aswa janji, kapan-kapan dia harus mentraktir Khusna sebagai tanda terima kasih.

Aswa menggerakan kedua kakinya bergantian ke arah dapur. Membuka kulkas, Aswa pun memberenggut, kala dia hanya menangkap beberapa botol air putih dingin, cabe dan tomat. Aswa bahkan tak punya persediaan mi instan karena sudah lama tidak pergi berbelanja ke super market.

"Aswa, Aswa, kenapa sekarang kamu jadi pelupa begini? Berapa sih, umur kamu?" tanya Aswa pada diri sendiri. Saking sepinya rumah ini---karena hanya dia yang menempati---Aswa bahkan sudah terbiasa berbicara sendiri. "Udah deh, sekarang ke super market aja."

Aswa membalikan tubuh menuju kamarnya, melepas mukena---karena baru melaksanakan salat Dhuha---dirinya pun mulai mengganti baju. Seperti biasa, ia selalu mengenakan warna-warna gelap. Aswa memakai gamis berwarna abu-abu dengan kerudung segi empat besar berwarna hitam. Kali ini, tak perlu memakai riasan atau cream wajah sama sekali, karena Aswa sedang malas. Jadi, segera ia menyambar dompetnya, mengenakan kaos kaki dan flat shoes, lalu segera pergi ke luar untuk mencegat tukang beca.

🍒

"Terus gimana?" tanya Aswa, pada Khusna yang kini ada di seberang telepon.

"Aku nggak kasih lah, mana mungkin juga aku beri alamat rumah kamu ke sembarang orang apalagi cowok. Lagian Benua segitunya ya, suka sama kamu."

Aswa mengangguk-angguk, sembari memilih-milih buah tomat. "Bagus, aku nggak mau ya, dia datang ke rumahku. Udah cukup dia recokin hidup aku selama di toko. Dan sekarang, apa Benua masih ada di toko?"

"Nggak ada, tadi pas udah nerima telepon dia ijin pamit."

Aswa tersenyum, rasain! Benua, Benua, kenapa dia menyebalkan sekali sih?

Jadi begini, barusan, Khusna memberi tau Aswa jika Benua datang ke toko, dan memaksa ingin bertemu dengan dirinya. Apalagi, saat Khusna memberi kabar jika Aswa tengah tidak enak badan, katanya, dengan wajah panik, Benua memohon-mohon agar Khusna mau memberi tau alamat rumahnya. Namun, tentu saja, Khusna tak akan semudah itu untuk memberi tau alamat rumah Aswa kepada seorang laki-laki. Apalagi mengingat Aswa hanya tinggal sendirian.

Astagfirullah, Mantan! [RE-UPLOAD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang