"Huhhhh." Aswa mendesahkan rasa lelah, ia usap kening yang kini terasa begitu penuh dengan peluh. Entah mengapa, seharusnya ini hal yang mudah bukan? Namun, ia tetap belum merasa terbiasa, padahal sudah ketiga kali sejak pertama ia melakukannya.
Reuni SMA Siswa Nusa. Begitu judul acara yang harus dirinya hadiri malam ini. Jujur, sebenarnya Aswa tidak mau mengikuti hal-hal begini. Kalau saja para pengurus yang menyiapkan acara reuni tidak memesan bunga dari tokoknya.
Bayangkan saja, berada di sekitar keramaian yang dipenuhi oleh orang-orang sukses, banyak yang sudah berubah atau, ada yang bersama anak dan suaminya. Entah kenapa tapi Aswa merasa sangat malu. Bukannya Aswa iri atau bagaimana, memiliki kepribadian yang agak sulit berbaur, dan masa lalu yang buruk dengan teman satu sekolahnya, menjadikan keadaan reuni hal yang paling mencekam untuk Aswa. Apalagi, Aswa merasa bahwa ia belum berubah. Masih seorang wanita sederhana yang dulu sering dihina-hina.
Bahkan percaya tidak percaya, sedari tadi, ia hanya diam di pojok sepi bersama satu teman yang ia miliki. Jika sesekali ada orang melihatnya, maka, Aswa akan sedikit berbasa-basi, atau menampilkan senyum ramah. Aswa memang tidak dendam, hanya saja, ia menjadi kaku dan aneh sendiri saat kini wajah-wajah dewasa para 'teman' yang ia miliki menyapanya hangat.
Tidak seperti dulu.
Dan hal yang paling mendebarkan setiap kali reuni seperti ini adalah ... saat bertemu orang yang dulu pernah membulynya secara habis-habisan. Memang sangat banyak yang memperlakukan Aswa tidak manusiawi. Kepribadiannya yang pendiam, gayanya yang cupu, dan lain hal membuat ia benar-benar menjadi sasaran empuk bagi orang-orang yang membencinya. Meski Aswa hanya menduga-duga mereka membencinya karena ia berada di lingkungan yang salah. Mungkin fisiknya yang menjijikan, atau penampilannya yang tak sedap dipandang.
Atau mungkin orang-orang itu jahat memang sudah bawaan dari lahir?
Astagfirullah!
Aswa menggelengkan kepalanya. Rasanya apa yang ia pikirkan barusan tidak benar. Jangan seperti itu, dia tidak boleh lagi bersuudzon kepada orang lain. Tidak baik. Lagian, ia harus membiasakan diri untuk berpikir positif. Pokoknya, segala sesuatu yang datang dan pergi dari dalam hidupnya adalah hal yang indah, ketentuan Sang Maha Kuasa. Tidak baik rasanya jika Aswa berpikiran buruk terhadap apa yang datang dan yang pergi, yang telah dan akan terjadi. Karena semua itu memang kehendak Allah.
"Udah deh," gumam Aswa, sembari merapikan khimar abu-abu yang kini ia kenakan. Dirinya memang berada di toilet, untuk membenahi diri, sebelum---tepatnya mencoba---menyapa teman-temannya untuk pamit. Ya, seperti biasa, dengan alasan sudah terlalu malam, dan dia juga harus menaiki angkutan umum yang di mana begitu rawan di jam seperti ini, jadi ia harus bergegas untuk segera pulang. Meski sebenarnya ia hanya ingin menghindari ketidaknyamanan yang membelenggu.
"Rina," panggil Aswa pelan, sembari mendekati teman wanita yang pernah sebangku dengannya dulu.
"Ah, ya, Aswa? Udah kelar dari toiletnya?"
"Iya, udah."
"Ini, bentar, aku titip anak aku dulu ya, gantian, aku pengen ke toilet sekarang. Maaf ngerepotin." Rina nyengir.
"Oh, ya? Nggak apa-apa kok."
Aswa tersenyum canggung, sembari menerima bayi berumur lima bulan itu kepangkuannya. Tangan Aswa gemetar, sebenarnya, dia tidak pernah menggendong anak sekecil ini.
Aswa memperhatikan wajah bayi itu. Sangat cantik, mirip sekali dengan Rina. Dagunya lancip, mata yang kini terpejam sungguh memperlihatkan bulu-bulunya yang panjang dan lentik. Ah, pasti saat dewasa, bayi ini akan memiliki wajah bidadari.
"Huh, lega juga. Kayaknya aku kebanyakan minum, jadi pengen pipis mulu dari tadi," oceh Rina.
"Cepet banget Rin?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Astagfirullah, Mantan! [RE-UPLOAD]
EspiritualMANTAN? Apa yang terlintas saat kata 'Mantan' disebutkan? Masalalu? Seseorang yang pernah menyakiti? Manusia terkutuk yang tak ingin lagi ditemui? Hmmm, setidaknya hal itu lah yang dirasakan oleh Aswa ketika kembali bertemu dengan Benua. Mantan pert...