Why Should We Met? [END]

Mungkin Prolog

Jam buka cafe masih sekitar satu jam lagi. Gracia sedang membersihkan meja - meja customer yang terlihat sedikit debu dan merapikan kursi - kursi ke bawah. Ia melanjutkan menyapu lantai lalu mengepelnya. Sementara seorang cewek cantik mengelap pantry, meja saji, dan beberapa peralatan cafe sampai mengkilat.

Cafe yang bernuansa minimalis, didominasi warna putih dan sedikit warna ungu di beberapa hiasan seperti vas bunga, lukisan, mural di dinding, dan buku menu. Cafe itu tidak terlalu besar, tapi juga tidak kecil. Ada sekitar tujuh meja yang bisa digunakan pelanggan untuk menikmati kopi di dalam ruangan.

Di dinding di sebelah kasir terdapat sebuah foto seseorang pria yang bertuliskan 'Emil- Karyawan nyaris teladan bulan Agustus' dibawahnya ada QR Code dan tulisan juga 'Scan and support him'. Dibawahnya ada tulisan lagi 'I beg you. Please!'.

Sesekali Gre melirik jendela.

"Kirain udah ada yang ngantri," keluh Gre.

"Kak Gre kuliah jam berapa?" tanya gadis cantik tadi bernama Chika.

"Nanti siang. Kamu?"

"Libur hari ini."

"Buku catatan pesanan sama menunya ada di boks?" tanya Gre sambil memperbaiki ikat rambutnya.

"Ada, Kak. Tumben Emil rapi kerjanya," jawab Chika.

"Ya gara - gara foto itu," tunjuk Gre.

"Karyawan cuma empat apa perlunya karyawan teladan?" Chika terkekeh.

"Gapapalah, jika menurut dia itu sebuah pencapaian yang tertinggi kerja di cafe ini."

Chika tertawa.

Ting.

Bunyi pintu cafe jika terbuka.

Seorang cewek cantik nampak tergopoh - gopoh memasuki cafe dan langsung menuju pantry.

"Pagi, Kak Gre, Chika," ujarnya sembari mencuci tangan lalu memakai apron barista berwarna ungu.

"Pagi juga, Vi," jawab Gre.