BAB 1 : Keluarga Sean

184 15 5
                                    


"Tidak ada tempat terindah untuk menyimpan cinta, kecuali keluarga."


___________________________________

Tiap manusia memiliki cinta yang harus dijaga. Dan aku memilih keluarga sebagai tempat untuk menjaganya. Ralat! Bukan aku, tetapi kami. Kami yang sama-sama memilih tempat serupa.

"Pa-pa." Magenta berlari kecil menuju sang papa, lelaki pertama yang akan membuatnya jatuh cinta selamanya.

"Genta, jalannya pelan-pelan!" Aku sedikit berucap keras agar Genta yang sudah sampai di ruang tamu bisa mendengarnya.

Mas Raga lantas membawa Genta dalam sebuah pelukan rindu. Sudah sebulan ini mereka harus berpisah, bahkan Mas Raga terpaksa melewatkan proses perkembangan putri kecil kami.

Aku mendekat pada mereka. "Mas, kapan pulang?"

"Barusan. Istri aku tambah cantik aja, pantes bikin kangen terus," goda Mas Raga dengan senyum tulusnya.

Mas Raga pernah mengatakan, semua lelah yang dia rasakan bisa terobati hanya dengan melihat senyum kami, kedua bidadarinya. Aku tahu tiap kali pulang, pasti dia memikul lelah yang berat, tetapi sama sekali tidak mengeluh. Katanya, itu memang tanggung jawab sebagai kepala keluarga.

"Ada dua orang yang harus kubahagiakan, makanya aku harus kerja keras. Kalau aku mengeluh dan sedikit-sedikit lelah, siapa yang mau membahagiakan kalian? Aku menikahimu bukan untuk mengajakmu menderita." Begitu kata Mas Raga saat aku menanyakan kenapa dia tidak pernah mengeluh padaku.

Mas Raga duduk bersandar sambil memangku Magenta. Gadis kecil yang kami panggil Genta pasti menyimpan rindu yang sama seperti papanya. Seyumku terbit ketika menyaksikan seorang anak dan papa yang sedang melepas kerinduan.

Kuletakkan secangkir teh hangat di depan Mas Raga. "Genta kok bisa langsung tidur di pangkuan papanya?"

"Istrinya Mas Raga yang cantik juga mau juga tidur di sini?" tawar Mas Raga.

Aku tersipu di balik senyum. "Mau banget, Mas. Memangnya cuma Genta yang kangen? Mamanya Genta juga kangen, loh."

Sebuah cubitan yang mendarat di hidung membuatku mengaduh. Hanya sedikit sakit dan banyak senangnya. Mas Raga tertawa puas melihatku mengelus hidung, dia lantas berdiri dengan membopong Genta.

Tubuh mungil Genta diletakkan dengan lembut di atas spring bed.
Gadis kecil kesayangan kami terlihat lelap dalam tidurnya. Mas Raga terus menatap Genta sembari menyentuh tiap jengkal wajah indah itu. Aku memerhatikan raut wajah Mas Raga yang berbeda, seperti ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.

"Mas," lirihku, "Mas Raga kenapa?"

Mas Raga beralih menatap wajahku.

"Nothing."

"Kita kenal enggak sehari dua hari, Mas enggak bisa bohongin aku."

"Sayang," ucap Mas Raga sembari mengelus rambutku, "tadi malam Mas nginap di rumah Ibu."

Tanganku bekerja cepat menyingkirkan tangan Mas Raga. Hanya mendengarnya saja aku sudah tidak suka, apa lagi harus menuruti kemauan wanita itu. Sungguh, aku tidak akan sudi.

"Apa yang dia katakan?"

Mas Raga menunduk lemah, dan sepertiny dia berusaha keras untuk menelan salivanya. Lidah yang tak bertulang itu seakan berubah kaku dan berat untuk menjawab pertanyaanku tadi.

"I-ibu," ucap Mas Raga ragu.

"Cepat katakan, Mas!" seruku dengan air yang menggenang sekin banyak di pelupuk mata.

JEJAK LUKA SEANA (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang