BAB 28 : KASIH SAYANG

46 5 2
                                    

"Dasar kasih sayang itu condong pada perkara yang disukai."
(Imam Nawawi)
_______________________________


Aku mengerti bahwa manusia tidak bisa menebak rahasia dari takdir Tuhan. Namun, bagaimana dengan rahasia sesama manusia? Bolehkah aku menebak, meski berarti akan banyak kemungkinan untuk berburuk sangka pada mereka.

Imam Nawawi dalam hadis yang pernah kubaca di kitab Abi Jamroh, mengatakan bahwa dasar kasih sayang itu condong pada perkara yang disukai.

Kalau kita menyukai seseorang, semua yang ada pada dirinya akan terlihat baik, dan tidak memungkiri jika suatu waktu kasih sayang itu datang. Singkatnya, kesukaanmu, menjadi dasar sebuah kasih sayang.

Begitu juga jika kita membenci. Semua kebaikan yang ada pada seseorang bisa tertutup dengan satu kebencian, dan semua yang kita lihat hanyalah keburukan. Itu yang kutakutkan jika terlalu banyak berburuk sangka pada mereka. Aku takut terjebak dengan kebencian yang kubuat sendiri.

Apa lagi, bagiku berburuk sangka beda tipis dengan hati-hati. Iya, aku hanya sedang berhati-hati dengan mereka, bukan berburuk sangka.

Hubungan rumit antara Mas Raga, Ara, Rafanda dan Dokter Radar yang belum kutemukan kebenarannya, lalu Dokter Radar dengan Sabil. Harusnya hubungan antara Dokter Radar dan Sabil tidak masuk dalam list, tapi sayangnya rasa keingintahuanku begitu tinggi. Belum lagi,  teror yang kuterima kemarin.

"Kita kemana, Dok?" tanyaku saat mengetahui Brian tidak melewati jalan ke apartemen Dokter Radar.

"Ke rumahku," jawab Dokter Radar singkat.

"Tapi, ini bukan jalan ke apartemen, 'kan?"

Mata Dokter Radar tidak sengaja kutangkap dari spion depan, lalu kami sama-sama memalingkan wajah.
"Ke rumah, Sean, bukan ke apartemen."

Apa alasan mereka tentang kepulangan suami Asta benar, atau hanya sekadar alibi saja? Sekarang aku benar-benar tidak tahu harus percaya pada siapa, mereka hanya orang-orang baru yang tidak kutahu. Ini sebabnya aku harus hati-hati dengan siapa saja.

Dokter Radar terlalu banyak menyimpan misteri. Brian cukup banyak membantuku, tapi tetap saja dia adalah teman Dokter Radar. Asta, mungkin dia sedang melepas rindu dengan suaminya.

Asta? Ah, iya, aku baru ingat yang Brian katakan tadi di rumah sakit.
"Bri, kamu bilang Asta yang kasih tahu kalau aku di rumah sakit, 'kan?"

"Yuhu, ada masalah, Sayang?" goda Brian.

Dokter Radar langsung memukul Brian dengan buku yang sedang dipengangnya.

Brian mengaduh kesakitan.
"Duh! Aku lagi nyetir, loh, Pak Bos!"

"Kamu jangan sembarangan ganti nama orang, dong, Bri," protes Dokter Radar.

"Makanya dengar dulu sampai selesai. Maksudku itu, sayangnya Radar, gitu," kilah Brian, "dih, dia senyum, loh, Sean," lanjut Brian memberi tahuku.

Aku tersenyum dengan celotehan Brian. Bukan Brian namanya kalau tidak jahil seperti itu.

"Tadi pertanyaan Sean belum kamu jawab," ujar Brian mengingatkan.

"Eh, iya, aku terlalu bahagia lihat kamu jatuh cinta. Kapan lagi seorang Radar bisa jatuh cinta."

Jatuh cinta kata Brian? Itu pasti karena Sabil. Semua orang juga bisa menilai kedekatan mereka berdua. Apa lagi, kalau melihat adegan pagi tadi di restoran.

Kenapa rasanya tidak rela sekali melihat kenyataan bahwa Dokter Radar sudah ... Ah, sudahlah!

"Asta sempat kirim voice note, gitu, terus dia bilang kamu masuk rumah sakit dan minta aku jagain. Mungkin dia kira kalau aku di rumah sakit."

JEJAK LUKA SEANA (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang