"Jika ada rindu yang tidak mampu bertemu, maka aku akan bertamu untuk mencari penawar rindu."
___________________________________Tidak semua mahluk yang merindu bisa bertemu. Namun, semua rindu punya penawar dan aku harus mencari penawarnya. Itu karena aku tahu, rinduku tidak akan pernah bisa bertemu pada orang yang kutuju.
Kerinduan pada Genta dan Mas Raga tidak akan bisa terobati dengan kembali bertemu. Namun, aku punya cara lain. Aku memilih untuk bertamu, mencari penawar rindu itu.
Pagi ini aku masih bersiap untuk menemui Ara di apartemen papanya. Mengenakan tunik selutut dan celana hitam, lalu jilbab segi empat dengan sedikit motif di tiap pinggirnya, kukira ini tidak berlebihan dan tidak terlalu memalukukan. Cukup sunscreen yang kuoleskan di wajah dan lipglos untuk melembabkan bibir, tidak perlu tebang lukis alis atau sejenisnya.
Bu Ima bilang akan menungguku di sana. Dokter Radar sudah menceritakan bagaimana kondisiku, sehingga Bu Ima akan menemaniku untuk beberapa hari.
"Sean, kamu yakin?" Asta menatapku ragu.
"Yakin, dong. Kalau enggak kerja gimana aku bisa punya uang."
"Iya, tapi kamu, 'kan, bisa cari kerjaan lain, Sean."
"Tapi aku harus tahu keberanan yang tidak kutahu selama ini."
Aku ikut duduk di sofa berasama Asta. Temanku yang satu ini ternyata belum sepenuhnya rela dengan keputusanku.
"Kemarin pas kamu lagi pesan makanan di kantin ada dokter cantik yang datang. Namanya Rafanda. Awalnya dia kelihatan ramah, tapi pas dia tahu namaku tatapannya berubah menakutkan," kataku memulai bercerita.
Asta mengubah posisi duduknya untuk berada di depanku.
"Terus apa hubungannya sama Dokter Radar?"Aku mengangkat kedua pundak seraya menggeleng.
"Aku enggak tahu hubungan mereka. Enggak lama setelah perkenalkan kami, Dokter Radar datang dan mengajakku pergi. Aku sempat tanya sama Dokter Radar tentang Rafanda.""Terus, Dokter Radar jawab apa?" tanya Asta penasaran.
Aku sedikit menunduk sembari memijat lembut pelipis. Kepalaku sedikit pusing, bukan akibat kecelakaan, tetapi karena sedang berusaha mengingat perkataan Dokter Radar.
"Ampun, deh, Sean. Aku udah penasaran gini, loh!" gerutu Asta.
"Sabar, aku lagi mengingat ucapannya Dokter Radar," jawabku datar, "dia belum bisa cerita soal Rafanda, nunggu waktu yang tepat, katanya. Aku juga enggak tahu kapan waktu yang tepat seperti yang dia maksud."
Asta ikut mengerutkan keningnya.
"Kayaknya, nih, Dokter Radar tahu banyak hal tentang kamu, deh. Dia juga tahu apa yang kamu enggak tahu.""Nah, makanya aku bingung."
"Bingung kenapa Dokter Radar bilang kayak gitu sama kamu?" tebak Asta.
Aku menggeleng.
"Apa?"
"Aku bingung, sebenarnya dia itu dokter apa dukun, sih? Lebih cocok mana, Dokter Radar atau Dukun Radar?"
"Sean!" kesal Asta seraya melemparkan sebuah bantal ke wajahku.
***
Asta terlihat masih kesal saat aku meninggalkannya. Dia kesal dengan banyolanku atau kesal karena aku tetap memutuskan pergi menemui Ara? Sudahlah, dia tidak akan bisa marah denganku. Kalaupun iya, itu tidak akan bertahan sehari.
Aku menaiki taksi online yang sudah Asta pesan. Lihat, meski kesal dia tetap saja baik denganku.
Selama perjalanan menuju apartemen Dokter Radar, aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Belum juga aku menemukan jawaban hubungan antara Mas Raga dan Ara, aku sudah disuguhkan dengan pertanyaan lain. Rafanda. Jawaban yang kudapat dari Dokter Radar justru lebih membuatku penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
JEJAK LUKA SEANA (SUDAH TERBIT)
RomanceAfsheena Firdaus atau lebih akrab dengan panggilan Sean adalah seoarang wanita yang mengalami kecelakaan tragis bersama anak dan suaminya. Kepergian sang suami dan anaknya membuat Sean mengalami trauma yang mendalam. Saat Sean berada di titik terend...