BAB 12 : MELUPAKAN

48 7 3
                                    


"Melupakan bukanlah cara berhenti mencintai. Namun cara agar semuanya tersimpan rapi dalam hati, sampai rasa itu bertahan dan enggan pergi."
_________________________________

Aku berusaha keras untuk tidak mengingat Mas Raga mau pun Genta, baik dengan hari-hari yang kami lalui atau pun dengan perpisahan yang harus kami alami.  Aku melupakan, bukan berarti tidak mencintai lagi. Aku hanya takut jika mengingat dengan kesakitan, justru membuat cinta itu pergi dan efek terburuknya adalah rasa itu berubah menjadi benci.

Beberapa orang memilih melupakan karena kebencian, beberapa lainnya memilih bertahan karena kecintaan. Dan aku memilih untuk melupakan untuk mempertahankan perasaan. Bukan tidak mencintai, tapi aku membiarkan semuanya tersimpan rapi dalam hati sampai rasa itu tetap bertahan dan enggan pergi.

Sabil bilang, aku tidak boleh menghindari hal-hal yang membuatku trauma, tetapi jangan pernah membiarkan ingatan itu bertahta dalam diriku. Rumit, bukan?

"Sean, ayo kita berangkat!" seru Asta.

Aku keluar menemuinya yang sudah rapi dan wangi. "Aku deg-degan, As."

"Itu tandanya kamu masih hidup," canda Asta, "ayo, nanti kita terlambat!"

Asta memberikan helm padaku, sedangkan dia masih memanasi motornya. Sesekali Asta mengecek make up yang menghiasi wajahnya melalui spion. Dia juga membenarkan jilbab dengan meniup ujung depan yang tak beraturan akibat angin.

"Yakin mau naik motor?" tanyaku memastikan.

"Yup! Aku mah enggak ada takut-takutnya."

Aku menaiki motor Asta setelah mendapatkan instruksi darinya. Asta melajukan motor dengan kecepatan sedang. Bukan keinginan dia, tapi atas perintahku. Jalanan yang lenggang membuat kami bisa menempuh perjalanan dalam waktu 30 menit. Kalau sedang macet kami bisa menghabiskan satu jam di jalanan.

Sejak tiga bulan yang lalu aku baru berani menginjakkan kaki di tempat ini. Jangan kira ketakutanku sudah lenyap, aku hanya berusaha berteman dengan ketakutan itu, dan mengajaknya berjalan bersama.
Begitu yang Sabil ajarkan padaku.

Sudah tiga bulan ini Sabil membantuku keluar dari zona fobia yang kualami. Katanya, dia harus menyelesaikan satu per persatu. Dan dia lebih memilih membawaku pergi lingkaran iatrophobia dari pada post traumatic stress disorder.

"Bagaimana bisa kamu diobati, kalau ketemu Dokter aja udah takut?" Begitu kata Sabil waktu itu.

Saat itu aku baru tahu kalau Sabil adalah seorang psikiater. Dia tidak bekerja di rumah sakit, tetapi membuka praktik sendiri. Itu sebabnya dia punya waktu untuk menemuiku.

Untuk memulihkan luka fisik aku harus terlebih dahulu menyembuhkan trauma ini. Kalau di tanya bagaimana bisa aku takut dengan Dokter dan semua yang berhubungan dengannya, maka jawabannya adalah mereka hanya menjadi pengantar kematian. Ayah, ibu, Mas Raga dan Genta, semuanya meninggal di rumah sakit.

Sebenarnya satu bulan yang lalu aku sudah berani bertemu Dokter Diana. Ya, meski harus membuat janji di luar rumah sakit. Untunglah beliau punya waktu untukku di luar jam kerjanya.

"As, tunggu dulu!" kataku dengan menahan lengan Asta.

"Kenapa? Katanya udah enggak takut."

Tanganku sudah basah karena keringat dingin yang terus bercucuran. Jantungku apa kabarnya? Dia berdegub cepat tanpa irama.

"A-aku, belum siap."

"Tenang dulu, kita duduk di sana," ujar Asta menunnjuk sebuah gazebo dekat parkiran.

JEJAK LUKA SEANA (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang