"Manusia patut berdoa meski saat terluka, terlebih saat jatuh cinta."
___________________________________
Manusia adalah mahluk pelupa. Saat bahagia mereka lupa bersyukur, saat terluka mereka lupa bersujud. Sama sepertiku.Saat Allah menitipkan cinta sesama mahluk padaku, yaitu cinta Mas Raga dan Genta, aku lupa berterimakasih pada-Nya. Namun, saat semua masalah datang, aku terus saja memaki takdir. Menganggap semua yang kualami sebagai diskriminasi.
Aku pernah berpikir kenapa harus aku yang mengalami semua ini? Kenapa harus aku yang kehilangan orang tua? Kenapa harus aku yang kehilangan suami dan anak? Kenapa bukan mereka saja? Takdir itu tidak adil! Harusnya masalah seberat itu tidak diberikan padaku semua.
Baiklah, kalau memang setiap masalah memiliki hikmah, lalu hikmah apa yang bisa kudapat dari semua masalah ini? Bahkan satu per satu masalah justru terus berdatangan. Mungkin, ratusan masalah sudah berbaris rapi untuk menyapaku.
"Jangan suka ngelamun di pemakaman."
Aku terkejut bukan main ketika suara itu terdengar jelas di belakangku. Lihatlah! Wajahku berubah pucat karena terkejut. Kaget, loh, ya, bukan takut.
Aku memberanikan diri menengok ke belakang. Kalau tadi aku terkejut dengan suaranya, kali ini aku lebih terkejut dengan sosoknya.
Dokter Radar dan Ara.
"Kalian kenapa di sini?" tanyaku heran.
"Kamu kenapa nanya?" balas Dokter Radar.
Kenapa Dokter Radar semakin menyebalkan saja? Huh!
"Ara ngapain di sini?" Mungkin dengan bertanya pada Ara aku bisa menemukan jawaban yang lebih baik.
"Mana Ara tahu, Tante. Ara diajakin Papa," jawab Ara polos.
Aku tersenyum mengejek Dokter Radar, sedangkan Dokter Radar memalingkan wajahnya, berusaha menghilakan rasa malunya.
Ara dan Dokter Radar ikut berjongkok di sampingku. Dibanding dengan kedatangan mereka, aku lebih fokus dengan dua pusara di depan.
Setiap kali datang, aku selalu berpikir sedang apa Genta dan Mas Raga di dalam sana. Apa mereka baik-baik saja, apa tidurnya nyenyak, apa tempatnya kini bercahaya, apa mereka juga merindukanku?
"Jangan nangis, malu sama Ara," bisik Dokter Radar.
Aku sengaja menutup telinga kanan untuk mengabaikan suara Dokter Radar.
"Aku punya buat kamu," bisik Dokter Radar, lagi.
Aku refleks memutar kepala ke arahnya. Dia bilang apa tadi? Bunga? Untukku?
"Bu-nga?" tanyaku ragu, "enggak usah, Dok, aku enggak suka bunga," tolakku.
"Lihat dulu, ini," Dokter Radar menyodorkan keranjang bunga padaku, "kamu belum bawa bunga, 'kan?"
Wajahku merah padam menahan malu. Kukira, dia membawa setangkai mawar merah. Aku sudah terlalu percaya diri, padahal yang dia berikan adalah bungan untuk ditaburkan ke pusara Genta dan Mas Raga. Ah, menelan ludah saja menjadi sangat sulit saat dilanda malu seperti ini.
Dokter Radar tersenyum seakan mengejekku. Dia benar-benar menyebalkan!
"Boleh kupimpin doa?"
Aku mengangguk setuju.
Air mataku tidak henti-hentinya mengalir saat Dokter Radar mengimami ziarah. Jujur saja, setiap kali nama Mas Raga dan Genta di sebut satu kalimat dengan khadroti ruhi, hatiku selalu menolak. Seakan tidak terima dengan kematiannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JEJAK LUKA SEANA (SUDAH TERBIT)
RomanceAfsheena Firdaus atau lebih akrab dengan panggilan Sean adalah seoarang wanita yang mengalami kecelakaan tragis bersama anak dan suaminya. Kepergian sang suami dan anaknya membuat Sean mengalami trauma yang mendalam. Saat Sean berada di titik terend...