BAB 19 : MEMBUKA MATA

58 7 1
                                    


"Ada kebaikan yang tidak kamu rasa, hanya karena sepasang mata yang tidak terbuka."
__________________________________


Berbincang dengan Bu Ima menjadikanku merasa memiliki keluarga lagi. Beliau begitu ramah dan menyenangkan, meski ini adalah pertemuan pertama kami.

Selama aku di apartemen Dokter Radar, Ara tidak keluar dari kamarnya. Kata Bu Ima, Ara tertidur.

Aku meminta Dokter Radar mengantarkanku ke rumah sakit lagi karena Asta masih di sana. Asta pasti sangat bosan berada di tempat itu sendirian untuk menungguku seharian.

"Bagaimana, besok siap, 'kan?" tanya Dokter Radar.

"Insyaallah, Dok. Tapi tolong dimaklumi kalau aku belum bisa jadi pengasuh yang baik buat Ara."

"Bukan masalah, yang penting kamu usaha aja dulu. Ara pasti senang punya ibu baru."

Aku membulatkan mata. "Ibu baru?"

"Ibu pengasuh. Kenapa kaget gitu? Ngarep jadi ibu barunya Ara, ya?" Dokter Radar tersenyum jahil padaku.

"His! Makanya kalau bicara dituntasin, Dok, biar aku enggak salah paham." Aku berusaha membela diri.

"Kalau ada orang bicara dengerin dulu sampai tuntas, ini malah dipotong gara-gara ada yang kepedean," balas Dokter Radar tidak mau kalah.

"Terserah!" jawabku kesal.

Aku memalingkan wajah ke sisi kiri. Melihat lalu lintas dari balik jendela mobil. Lalu lintas sore ini cukup ramai. Begitu banyak orang yang baru saja mengakhiri pekerjaan lalu pulang menemui keluarganya.

Aku jadi ingat perkataan Mas Raga setiap dia pulang kerja.
"Mama sama Genta itu hebat, loh. Kalian bisa ngalahin capeknya Papa. Padahal kalau di tempat kerja rasanya udah enggak karuan, tapi kalau pulang tiba-tiba capeknya ilang."

Mas Raga juga pernah bilang,
"tempat pulang ternyaman adalah keluarga. Tempat terindah dan teraman untuk menyimpan cinta, juga keluarga. Sayang, besok kalau kita sudah menikah kamu harus jadi itu. Jadi tempatku berpulang dan tempatku menyimpan cinta, lalu kita saling berpegang tangan untuk melewati semua duka dan bertemu bahagia."

Baru kemarin aku mendengar Mas Raga mengucapkan itu. Rasanya masih seperti mimpi saja berpisah dengannya.

Mataku menangkap sebuah pemandangan buruk saat mobil Dokter Radar berhenti di perempatan.

"Dok ...."

"Kenapa?"

Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan.

"Kamu kenapa, Seana? Jangan buat aku khawatir!"

"I-itu, Dok. Ada kecelakaan. Depan lampu merah, sebelah barat dari sini, Dok."

Dokter Radar baru menyadari ada kerumunan yang tidak jauh dari mobilnya.

"Aku ke sana dulu. Kamu tetap di sini," titah Dokter Radar.

Aku melepaskan kedua telapak tangan yang menutupi wajah, lalu menatap Dokter Radar dengan mata berkaca.
"Aku ikut, Dok. Aku takut di sini sendirian."

"Kamu yakin?"

"Orang itu baik-baik aja, 'kan, Dok? Aku takut kalau dia ...."

"Ayo, ikut. Aku pastikan kamu yang akan baik-baik saja."

Dokter Radar bergegas turun dari mobil. Aku berjalan ragu mengikuti langkahnya. Puluhan orang sudah berkerumun menyaksikan pengendara motor yang baru saja terserempet.

"Permisi, beri saya jalan!" seru Dokter Radar saat melewati kerumunan,
"Sean, tolong hubungi layanan darurat," lanjut Dokter Radar dengan menyerahkan ponsel miliknya.

JEJAK LUKA SEANA (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang