BAB 18 : RAHASIA RASA

45 7 1
                                    


"Ada rasa yang tidak bisa bersuara, cukup menjadi rahasia."
_______________________________

"Oh, jadi ini yang namanya Sean?" Rafanda tersenyum sinis dan menatapku penuh kebencian.

Saat ini pikiranku dipenuhi tentang kemungkinan-kemungkinan buruk. Rasanya susah sekali untuk mencari alasan agar aku tidak mudah memberi jugemement negatif padanya. Aku tidak mengerti kenapa tatapannya begitu menakutkan. Padahal ini adalah pertemuan pertama kami. Apa mungkin aku membuatnya tidak nyaman? Atau aku memberi kesan yang tidak baik?

"Sean, kenapa kamu ada di sini?"

Aku menoleh pada asal suara. Ternyata Dokter Radar sudah berada dua meter di sebelah kiriku. Aku bisa menangkap tatapan kurang enak dari mata Dokter Radar.

"Sean, bisa ikut aku?"

"Ke mana?"

"Keluar dari sini," jawab Dokter Radar singkat.

"Ta-tapi, Dok ...."

Brian memberi isyarat padaku dengan anggukan kecil. Aku tahu, dia menginstruksi agar aku ikut dengan Dokter Radar. Aku tidak paham kenapa mereka berdua bersikap seperti ini.

"Nanti aku yang bilang ke Asta. Kamu tenang aja, Sean," ucap Brian.

Dokter Radar mulai melangkah setelah aku berpamitan pada Brian dan Rafanda. Aku mengikuti langkah cepatnya. Otakku langsung di penuhi beragam pertanyaan.

"Dok, kenapa ...."

Dokter Radar menghentikan langkahnya tanpa membalikkan badan.
"Kita bicarakan nanti."

Aku tidak bertanya lagi dan tetap mengikutinya yang kembali berjalan. Sepanjang perjalanan, berapa pegawai rumah sakit melempari tatapan aneh pada kami. Tidak, kurasa penggunaan diksi 'kami' kurang tepat karena hanya aku yang mendapat tatapan itu dari mereka.

Aku baru ingat, Brian bilang, Dokter Radar adalah orang yang disegani dan menjadi pusat perhatian para gadis cantik di rumah sakit ini. Jelas saja banyak di antara mereka yang memberi tatapan aneh padaku.

"Seana, masuk," titah Dokter Radar yang sudah membukakan pintu untukku.

"Kasih tahu dulu, kita mau kemana?"

"Ketemu Ara," jawab Dokter Radar singkat.

"Se-ka-rang?"

"Memangnya kenapa?"

Aku menunduk, ragu untuk mengatakan kalau aku belum berani bertemu Ara.

"Tenang aja, kamu bisa, kok. Ara sengaja dihadirkan Tuhan buat ngobatin kangen kamu sama Genta." Dokter Radar mengembuskan napas panjang, mengambil jeda untuk kalimatnya. "Gimana? Mau, 'kan?"

Aku tersenyum tipis dan mengangguk ragu. Kedua kalinya, aku melihat Dokter Radar tersenyum bersamaan dengan matanya yang berbinar.

Tidak ada perbincangan apa pun di antara kami. Dokter Radar begitu fokus menjalankan mobilnya. Sedangkan aku tidak begitu pandai memulai percakapan apa lagi mencari topik perbincangan. Aku lebih senang menjadi pendengar dari pada menjadi pembicara, meskipun hanya sebatas mendengarkan tanpa bisa memberi solusi.

Perjalanan kami cukup singkat, hanya 20 menit dari rumah sakit. Mobil yang kami naiki memasuki pelataran apartemen.

"Jadi, Dokter Radar tinggal di apartemen?"

Ah, Sean! Kenapa untuk mengatakan hal sesepele itu harus berpikir lama?

"Iya, ini juga bukan hak milik. Aku belum punya rumah sendiri," jawab Dokter Radar    seraya melepas seat beltnya.

JEJAK LUKA SEANA (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang