BAB 2 : KATASTROFE

73 11 3
                                    


"Manusia ingin terus baik-baik saja, tetapi Tuhan mengujinya dengan luka."
_

___________________________________

"Bu, semua orang memiliki cinta, dan tidak ada tempat terindah untuk menyimpan cinta kecuali keluarga. Kalau itu yang Ibu inginkan, baiklah Sean akan pergi hari ini juga," ujar Mas Raga.

Ibu Rengganis tersenyum lega sedangkan aku mengurai pelukan Mas Raga dengan derai air mata. Aku menggeleng lemah karena tidak percaya dengan apa yang baru kudengar.

Ibu Rengganis tersenyum sinis. "Kamu dengar, Sean?"

"Sean akan pergi bersama keluarganya, Genta dan juga aku!" tegas Mas Raga.

Mas Raga menggandeng tanganku, berjalan menjauh dari ibunya. Wanita yang pernah Mas Raga hormati sudah jauh berubah dari yang dulu. Ibunya yang dulu adalah wanita lembut penuh kasih, tidak seperti saat ini, wanita kasar penuh kebencian.

"Kamu mau kemana, Raga!" seru Ibu Rengganis saat melihat kami kelur dari kamar dengan membawa koper.

"Aku akan membawa mereka jauh dari hidup Ibu. Semoga ini menjadi yang terbaik." Mas Raga menjawabnya datar, tanpa emosi.

"Jangan tinggaalkan Ibu, Raga," ucap Ibu Rengganis lemas.

"Kenapa? Kenapa Ibu tidak mau ditinggalkan, tetapi menyuruhku untuk meninggalkan. Ibu tahu bagaimana sakitnya? Aku bahkan sudah merasakan itu hanya dengan membayangkannya saja, Bu."

Aku berdiri tidak jauh dari Mas Raga dan lebih memilih untuk tidak banyak bicara apa lagi menentang ucapan wanita itu. Luka hati yang kualami begitu dalam, aku tidak sanggup berkata dan lebih tidak sanggup lagi untuk terus mendengar umpatannya.

Tanpa menunggu lama lagi aku keluar dengan menggendong Genta yang masih lelap. Sementara itu di dalam masih terdengar seruan yang keluar dari mulut Ibu Rengganis. Ada sesal yang kurasakan. Harusnya aku tidak perlu mencintai Mas Raga, harusnya aku tidak memberikan kesempatan pada Mas Raga unutuk mencintaiku.

"Sayang, ayo masuk," ajak Mas Raga.
Aku sedikit terkejut mendengar suara Mas Raga. Pikiranku sedang berkelana, sampai-sampai aku tidak meyadari kedatangan Mas Raga yang sudah siap di mobil.

"I-iya." Aku membuka pintu mobil lalu duduk dan menyandarkan tubuh. "Mas Raga yakin?" tanyaku memastikan. Hanya anggukan penuh keyakinan yang kuihat dari Mas Raga.

Aku bisa mendengar dengan jelas teriakan penuh emosi yang terlontar dari mulut Ibu Rengganis. Dia berkali-kali memanggil Mas Raga bahkan sampai menghadang mobil kami. Namun, Mas Raga lebih memilih untuk melanjutkan perjalanannya bersama aku dan Genta. Mas Raga bilang, bukan dia tidak mencintai ibunya, melainkan dia hanya ingin agar ibunya tidak egois.

"Udah, enggak usah nangis lagi. Kamu tahu sendiri, 'kan, bagaimana sikap ibuku?" ujar Mas Raga memulai percakapan.

Aku menyeka air mata. "Bukan karena Ibu."

"Terus kenapa?"

"Aku beruntung punya suami yang terus memperjuangkan keluarganya."

"Aku lebih beruntung. Ada wanita cantik yang mau bertahan bersamaku," balas Mas Raga dengan cubitan kecil di hidungku.

"Mas ...," lirihku dengan menatapnya.

"Kenapa?"

"Tetap di sini bersamaku, jangan pernah pergi apa lagi untuk selamanya," ujarku dengan mata berkaca-kaca, "aku menangis bukan karena perkataan Ibu, tetapi karena aku takut kalian pergi dariku."

Mas Raga meraih tangan kananku, lalu mengecupnya penuh kasih. Wanita mana lagi yang bisa tahan diperlukan seperti itu oleh Ibu suaminya? Mungkin aku hanya satu dari ratusan orang yang seperti itu. Mas Raga bilang, aku memang istimewa karena tetap memberi cinta meski banyak luka.

****

Ribuan pasang roda terus berputar menyusuri jalan beraspal. Menjelang jam kerja jalan raya memang selalu di penuhi kendaraan. Mobil kami tidak bisa melaju dengan stabil. Aku benci ini, macet!
"Mas, kita mau ke mana?"
"Kita ke rumah teman Mas dulu, ya. Nanti kalau sudah tenang baru kita cari tempat tinggal yang nyaman."
Aku menyetujui jawaban dari Mas Raga. Saat ini memang sulit menemukan tempat tinggal yang nyaman dalam waktu singkat. Apa lagi mencari tempat tinggal di saat keadaan kami sedang tidak karuan seperti ini, pasti lebih menyulitkan.
Genta terbangun dengan rengekan kecil. Seperti biasa, dia menginginkan sebotol susu. Aku sedikit kesusahan membuatkan susu untuk Genta, untung saja Genta masih sabar menungguku. Sejak satu bulan yang lalu Genta memang tidak lagi meminum ASI. Bukan karena aku tidak mau memberinya, tapi karena aku tidak bisa memenuhi kebutuhan ASI untuknya.
Kuberikan sebotol susu untuk Genta. Dia terlihat bahagia dengan sebotol susu yang kuberikan. Berkali-kali Aku menciumi ujung kepala Genta dengan derai air mata. Ada sebuah kesedihan dan ketakutan yang tiba-tiba aku rasakan, tetapi aku tidak tahu alasannya.
Mas Raga melirik ke arahku. "Mama Genta kenapa lagi?"
"Enggak tahu, Mas. Rasanya sedih banget, aku juga takut kalau harus pisah sama Genta. Aku sayang banget sama Genta. Mas Raga tahu, dia adalah manusia yang menjadi cinta pertamaku sebelum pertemuan pertama," ungkapku dengan menyeka air mata, "Genta, Mama sayang banget sama Genta. Genta harus janji ya selalu ada buat Mama."
Mas Raga tersenyum untuk menenangkanku. Entah kenapa aku jadi secengeng ini. Kenapa aku terus saja menangis hanya karena rasa takut kehilangan Mas Raga dan Genta? Aneh, memang.
Mas Raga mengambil ponsel dari saku bajunya, dia berusaha menghubungi seseorang, tetapi belum ada jawaban.
"Telepon siapa, Mas?" tanyaku penasaran.
"Teman."
"Mas lagi nyetir, loh," ujarku mengingatkannya.
Mas Raga tersenyum padaku. "Iya, Sayang, mumpung lagi berhenti. Macet gini pasti lama, mending Mas telepon teman dulu. Katanya, dia mau pulang pagi ini."
"Memangnya dia dari mana?"
"Kerja, jaga shift malam. Dia bilang pagi ini ada janji dengan rekannya, tapi sebisa mungkin mau menyempatkan waktu untuk pulang dulu." Mas Raga masih sibuk dengan ponselnya.
"Belum bisa dihubungi?"
"Mungkin dia masih di jalan," jawab Mas Raga singkat, "tolong pegang ini, nanti kalau sudah terhubung bilang, ya," imbuhnya sembari menyerahkan ponsel.
Aku menerima ponsel itu begitu saja tanpa melihat siapa yang sedang berusaha dihubungi oleh Mas Raga. Mas Raga kembali melajukan mobil saat suara klakson di belakang mulai riuh. Menit berikutnya terdengar jelas perpaduan suara jeritan, klakson dan tabrakan. Perasaanku semakin tidak enak. Ketakutan mendekap begitu erat, keringat dingin mulai bercucuran. Aku terus mendekap Genta dengan kuat.
"Sean, I love you," ujar Mas Raga lembut. Mas Raga, sempat-sempatnya dia mengatakan itu saat situasi seperti ini.
Aku dan Mas Raga tersentak saat ada mobil yang menabrak mobil kami dari arah belakang. Tidak butuh waktu lama lagi bagi mobil silver kami untuk terseret ke kanan jalan. Jantungku semakin berdetak hebat, keringat dan air mata seakan berlomba keluar. Genta kupeluk semakin erat, tanpa lupa untuk terus merapalkan doa dalam hati. Apa pun yang terjadi aku harus bisa menjaga Genta.
Truk dari arah berlawanan melaju sedang, akan tetapi dia tidak bisa menghindar ketika mobil kami tiba-tiba berada di depannya.
"Sean, Genta!" seru Mas Raga.
Bukan hanya Mas Raga, aku pun berteriak keras saat truk itu menabrak mobil kami. Suara hantaman keras itu membuat dengungan hebat di telngaku. Dadaku begitu sesak, tubuhku sudah lemah tak berdaya dan aku bisa merasakan darah segar yang mengalir dari kepala.
Tangis Genta masih terdengar jelas di telingaku. Tubuh Genta kupeluk sekuat tenaga. Tidak lama kemudian tangis Genta berhenti begitu saja. Aku berusaha untuk keluar dari mobil tetapi tidak bisa. Kulihat Mas Raga dengan luka cukup parah di bagian kepala. Mataya terpejam sempurna, sepertinya dia sudah tidak sadarkan diri.
"Mas," ucapku lemah.
Mas Raga sedikit membuka matanya dan tersenyum. "Sean, I love you. Ma-af belum bisa membahagiakan kalian, maaf aku tidak bisa untuk terus di sampingmu. I love you."
"I love you more-"
Tidak ada lagi yang kulihat kecuali kegelapan. Tidak ada yang kudengar, kecuali keheningan. Tidak ada yang kurasakan kecuali kesakitan.

JEJAK LUKA SEANA (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang