05 II Kebohongan Berantai

50 15 2
                                    

Vote! Comment! WAJIB!
SELAMAT MEMBACA!

Rinjani membuka pintu dengan tidak santai. Lalu terhenyak saat mendapati Ravindra yang hanya memakai kaus putih dengan luaran switer. Lelaki di depannya terlihat ... tampan. Eh!

“Apa kamu akan terus memandangiku, Rinjani?”

Rinjani mengedipkan matanya—Apa daritadi ia memandangi Ravindra? “Ada apa ya, Pak?” tanyanya dengan suara pelan, tetapi dalam hati ingin meneriaki.

Ravindra cengengesan, “Nih pesanan kamu ....” Ravindra mengulurkan kantongan yang sejak tadi berada dalam genggamannya.

“Aku nggak pesan dan sejak kapan anda beralih pekerjaan menjadi pengantar delivery makanan?”

“Sejak malam ini,” jawab Ravindra asal.

Rinjani menyipit sebal. Dia mengantuk dan lelaki ini bikin lelucon di depannya seolah hubungan mereka seakrab itu untuk saling bercanda.

“Bercandanya besok-besok aja, Pak. Aku mau tidur.”

Satu kaki Ravindra maju, menahan pintu yang hendak ditutup Rinjani. “Tunggu! Aku hanya lapar, dari tadi siang aku belum makan.”

Oh God! Apa yang terjadi dengan pria aneh di depannya ini?

Rinjani mendengkus, “Lalu?”

“Butuh teman makan. Aku nggak bisa makan sendiri,” jawab Ravindra kembali.

Kekesalan Rinjani sudah sampai keubung-ubung, sebentar lagi akan meledak kalau lelaki ini tidak kunjung pergi dari hadapannya.

“Tunggu dulu! Aku bukan siapa-siapa kamu, teman bukan, keluarga bukan, pacar lebih-lebih. Jadi, dimana letaknya kenapa aku harus menemani kamu untuk urusan makan, kita nggak seakrab itu.” Hanya satu tarikan napas, rentetan kalimat itu disapu bersih oleh Rinjani. Kebiasaan kalau kekesalannya sudah berada di atas tingkat dewa.

"Apa kamu nggak punya pacar? Jomblo?"

“Emang kamu punya pacar?”

Skakmat!

“Ng—nggak ...” wajah Rinjani pasti sudah berubah merah. Ravindra sialan! “... aku memang nggak punya pacar, nggak penting juga. Tetapi, paling tidak aku nggak pernah repotin orang, apalagi itu orang asing.”

Ravindra dengan cepat mengganti raut wajahnya, dengan memelas. “Aku makannya cepat kok. Temanin bentar aja. Setelah itu aku pulang.”

Rinjani menimbang. Kasihan juga lelaki ini. Untuk urusan sesederhana makan saja dia perlu teman. Mungkin Ravindra tidak terbiasa makan sendiri.

“Lima menit?”

“Lima belas menit.”

“Oke.” Rinjani mengangguk. Bersiap melangkah keluar.

Ravindra menahan. “Eh ... mau kemana? Kamu nyuruh aku makan disini? Nggak sopan banget.”

Rinjani mendengkus, “Aku nggak mau terima pria asing di apartemenku.” Rinjani juga sadar betul kalau Sasha sewaktu-waktu bisa saja terbangun dan itu bencana besar kalau mendapati Ravindra sedang berada dalam apartemennya. “Ada Sasha di dalam.”

“Bagus dong ... kita bisa makan bertiga. Aku juga pesan porsi banyak, cukuplah untuk bertiga,” ucap Ravindra. Tidak peka atas ucapan Rinjani yang berarti penolakan untuk menerima pria asing memasuki apartemennya.

Rinjani mendorong tubuh Ravindra yang mulai memaksa masuk ke dalam. “Sasha udah tidur. Dan satu gedung apartemen ini akan gempar kalau Sasha terbangun dan mendapati seorang pria berada dalam apartemenku—apalagi itu kamu.”

Coffee RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang