11 ll On Procces

33 7 3
                                    

Vote! Comment! WAJIB!
SELAMAT MEMBACA!

Situasi konyol tadi memacu detak jantung Rinjani berdetak dengan hebatnya. Bahkan kini Ravindra tetap mempertahankan jarak di antara mereka, yang bisa saja dalam posisi ini pria itu mendengar detak hebat jantungnya.

"Kamu sering ke tempat ini?" tanya Rinjani sekedar ingin memecah sunyi.

Ravindra meluruskan kaki ke depan, lalu bergumam, "Beberapa kali."

Rinjani juga mengikuti, meluruskan kaki. Meniru Ravindra, ia mendongak penuh pada langit. Posisi ini membuat seluruh pandangannya hanya tertuju pada bintang yang berserakan terang. Membuatnya hanya ingin diam dan menikmati pemandangan.

"Aku senang banget berada di tempat ini. Menyenangkan bisa berada di sini, sambil melihat langit dengan banyak bintang seperti ini setiap hari."

Ini mengingatkan Rinjani pada sesuatu, jika sudah lama sekali dia tidak merasa serileks sekarang.

"Ini adalah tempat favorit aku. Setiap aku bersedih, aku akan datang ke sini. Dan bintang-bintang ini akan menghiburku," kata Ravindra.

Rinjani menoleh sekilas, lalu kembali memfokuskan pandangannya pada langit. "Oh iya? Jadi ini semacam tempat penghiburan untuk kamu?" Ravindra mengangguk. Rinjani kembali melanjutkan, "Aku juga merasa terhibur. Terima kasih sudah membawa aku kesini ... sepertinya ini juga akan menjadi tempat pelarian kalau aku lagi bersedih."

"Jangan bersedih, Rinjani!"

Rinjani tersentak oleh kalimat itu yang membuatnya menoleh cepat. Kalimat itu terdengar berbeda, ditambah raut wajah yang diperlihatkan oleh Ravindra—terlihat tidak biasanya.

Rinjani sangat ingin bertanya mengapa. Mungkin itu yang terpancar dari wajahnya sehingga Ravindra menoleh. Lagi-lagi senyum tipis yang membuat Rinjani tersadar jika dia sudah mengubah cara duduknya menghadap Ravindra—terlalu dekat.

"Kamu sudah beberapa kali mengatakan kalimat itu hari ini. Aku sudah baik-baik saja ... berkat kamu."

"Aku hanya tidak suka melihat kamu bersedih. Kamu itu special, Rinjani."

Rinjani pura-pura terkekeh, mencoba menghalau kegugupan yang melanda. "Kamu aneh!" Rinjani berusaha keras untuk melihat apa saja di sekitarnya, tanpa harus menoleh. Karena ia tahu Ravindra sedang menatapnya. "Ahh ... iya, sudah berapa orang yang kamu bawa ke sini? Untuk kamu hibur dan kamu perkenalkan ke tempat ini?"

"Hanya kamu."

"Huh?"

Ravindra menatapnya dalam. Menambah kegugupan yang semakin tidak karuan di dalam dadanya. "Hanya kamu yang aku bawa ke tempat ini. Karena aku berusaha mengenalkan kamu ke duniaku ... berusaha menarik kamu ke dalam rotasi sekitarku. Aku ingin kita berproses bersama-sama."

Rinjani mendadak blo'on. "Apa maksud kamu, Ravindra?"

"Aku menyukai saat-saat kita bersama. Aku munyukai kamu ... sangat."

Pipi Rinjani pasti sudah berubah kemerahan. Tidak boleh. Rinjani mungkin sudah tidak sengaja terpesona pada Ravindra. Tapi hanya sampai di situ.

"Rinjani," panggil Ravindra. Sangat lembut hingga mampu membuat pipinya bersemu.

Hening. Rinjani tidak menjawab. Tetapi tatapan matanya mengekspresikan semuanya. Kalau sekarang ia tengah dilanda kegugupan.

Ravindra lalu menopang tangannya di samping paha Rinjani, dengan tangan lain mengepal untuk mendorong lembut dagunya terangkat. Membuat keduanya bertatapan, dengan ujung hidung hampir bersentuhan.

Coffee RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang