03 II Insiden Kopi

58 16 1
                                    

Vote! Comment! WAJIB!
SELAMAT MEMBACA!

Pagi ini Rinjani sengaja bangun cepat, ia tidak mau lagi mempermalukan dirinya dengan kembali terlambat bertemu dengan Ravindra Zachery, pemilik SPACE Publisher.

Pukul 07.00, ia sudah stay di toko bukunya. Ia belum sempat sarapan, jadi saat Sasha membawakannya satu cup kopi dan sandwich, membuatnya berseru kegirangan.

“Kamu memang yang terhebat, Sha.” Rinjani berseru senang sambil meyeruput kopinya.

“Karena aku tau kamu pasti belum sarapan.” 

“Hmm ... betul banget,” jawab Rinjani dengan mulut penuh.

“Hari ini setelan kerja aku gimana?” tanya Sasha, sambil berputar-putar di depan Rinjani.

Dengan acuh tak acuh, Rinjani hanya mengangkat ibu jarinya, lalu kembali bergelut dengan sandwich dan kopinya.

“Ihh ... serius, Jani.” Sasha sudah memasang wajah tampak kesal.

“Serius ... bagus banget.”

Sasha memakai blus berwarna avocado dan rok A-line hitam menjadi pilihannya hari ini. Dengan make up yang sudah rapi dan rambut panjangnya yang sudah di blow

“CEO dingin, angkuh dan posesif. Bakal kecantol sama kamu,” celetuk Rinjani, yang memang penulis dan pencinta novel romance.

Sasha mendengkus, “Aduhh ... Rinjani. Semua yang kamu katakan itu hanya ada di novel, nggak ada di kehidupan nyata.” Sasha tiba-tiba bergidik ngeri, saat wajah bosnya terlintas di fikirannya. “Asal kamu tau aja ya, bos aku itu sudah berumur dengan perut buncit. Nggak ada tuh ... CEO-CEO cakep, dingin, angkuh dan posesif.”

Rinjani seketika tertawa terbahak-bahak. Sehingga sandwich yang di kunyahnya terlempar keluar, beberapa remahan Roti bahkan mengenai wajah Sasha.

“Ya Allah, Jani! Jorok banget, sih.” Dengan refleks Shasa berdiri, mengabaikan Rinjani yang kini terbatuk-batuk karena keselek dengan makanannya.

“Sha, tolong ... ambilkan aku air minum, keselek nih.” Wajah Rinjani sudah berubah memerah, dengan bola mata yang berair.

“Kamu sih, makan kayak orang baru keluar dari goa.” Sasha terus mengoceh, meski begitu ia tetap mengambil kopi Rinjani dari atas meja, “Pake acara tertawa-tawa pula- astagaaa ....”

“Panas ... panas banget ... aduhhh.”

Dan ... kopi itu tertumpah saudara-saudara. Yang sialnya, tepat di atas dada Rinjani, mengakibatkan tumpahan air kopi itu mencetak jelas kedua gundukan itu.

Sasha mendekati Rinjani yang sudah menggelinjang kesana-kemari bak kesetanan. “Astaga ... gimana nih, Jani? Ya Allah ... maafkan aku.” Sasha sudah luar biasa panik, mencoba melakukan segala cara agar Rinjani berhenti menjerit. Termasuk mengusap pelan kedua dada Rinjani.

“Panas banget, Sha. Mana perih lagi,” ringisnya tidak tertahankan. “Awas aja yah ... kalo sampai suami aku nanti minta cerai gara-gara dada aku lecet dan bentuknya berubah. Kamu harus tanggung jawab!” Ancam Rinjani masih dengan nada meringis.

“Iya Rinjani ... iya ...” dengkus Sasha. “Ini juga salah kamu, kalau kamu nggak ceroboh, hal seperti ini nggak akan terjadi.” Tangan sasha masih betah di dada Rinjani, mengusap, sesekali mengipasinya dengan telapak tangan.

“Kok salah aku? Kalau kamu nggak marah-marah dan membantuku dengan asal-asalan, kopi itu nggak bakalan tumpah, mana tepat di aset pribadi aku lagi,” dumal Rinjani tak mau mengalah.

Sasha kembali bertanya dengan kesal. “Jadi salah aku, gitu?”

“Iyalah,” jawab Rinjani cuek.

Sasha mengalah. Berdebat dengan Rinjani tak ada habisnya. “Sepertinya kamu butuh kamar mandi untuk membersihkan ampas kopinya. Itu nggak bakalan hilang, kalau hanya di usap-usap seperti ini,” usul Sasha, tangannya masih terus mengusap dada Rinjani.

“Tapi aku nggak bawa baju ganti.”

“Ekhmmm ....”

Suara deheman menginstrupsi keduanya. Seketika kedua orang itu terperanjat, lalu menoleh ke arah pintu masuk. Dimana seorang pria jangkung sedang berdiri, sambil menatap mereka.

Oh Tuhan! Keadaan mereka sedang tidak baik-baik saja. Dengan tangan Sasha yang masih nangkring bebas di atas dada Rinjani. Siapapun yang melihat mereka akan berfikiran macam-macam, termasuk pria tersebut.

****

“Sepertinya aku telah menganggu kesenangan kalian.” Ambigu. Ucapan pria itu terdengar ambigu, punya maksud lain.

Dengan kasar Rinjani menepis tangan Sasha di atas dadanya. “Astaga ... anda telah salah paham,” Rinjani melangkah mendekati pria itu yang masih berdiri dengan tenangnya di depan pintu.

Tatapan pria itu teralih. Ke atas dada Rinjani yang terkena tumpahan kopi, membuatnya terlihat jelas. Apalagi Rinjani tengah memakai kaos putih. Lengkap sudah kesialan Rinjani.

“Ehh ... lihat apa lo?” tanya Rinjani sambil kedua tangannya menyilang di depan dada.

Pria itu mengalihkan tatapannya, fokusnya kini beralih menatap wajah Rinjani. “Maafkan aku ... atas ketidak sopananku,” pria itu menggaruk pelipisnya, tampak kikuk. “Bisa tidak kamu ganti baju terlebih dahulu?”

“Aku nggak bawa baju ganti,” jawab Rinjani dengan nada sewot. “Mana aku tau kalau pagi ini aku akan terkena insiden tumpahan kopi.”

“Hm ...” pria itu kembali menelisik wajah perempuan di depannya. “Dan satu lagi, di dekat bibir kamu ada yang nempel dan membuat fikiranku ambyar kemana-mana.”

Dengan ekspresi kaget, Rinjani menyentuh mulutnya. “Huh? Apa?”

Saat Rinjani masih sibuk meraba-raba bibirnya, Rinjani di kejutkan oleh pria itu yang tiba-tiba mendekat, lalu menyentuh bibirnya. Membersihkan sesuatu yang di maksud pria itu.

“Maaf ya ... aku hanya berniat membersihkan ini ....” ibu jari pria itu terulur, memperlihatkan sesuatu yang berwarna putih. Mayonaise sandwich yang mengotori bibirnya.

Saat pria itu menjauh, Rinjani baru sadar bahwa sejak tadi ia menahan napas, dan terasa debaran tidak karuan dalam dadanya. Mendapati sorot mata pria itu saat menatapnya, sentuhan lembut di bibirnya, belum lagi aroma parfum yang menguar keluar dari tubuhnya, membuat Rinjani mabuk kepayang.

“Astagaaaa ....” suara jeritan itu menyadarkan Rinjani dari kebaperan yang tiba-tiba melanda. Oh hati ... sudah dua hari berturut-turut kamu berdebar karena mahluk jahat.

Rinjani dan pria itu bersamaan menoleh, mencari sumber suara tersebut. Yang pelakunya tidak lain adalah Sasha, yang kini berdiri tidak jauh dari mereka dengan cengiran lebarnya, tidak merasa bersalah sama sekali telah mengacaukan adegan romantis mereka. Huh, adegan romantis? Apa iya? Padahal itu hanya membersihkan kotoran  di bibir kamu loh, Jani.

“Aku udah terlambat.” Sasha berseru, lalu meraih tote bag dan menyampirkan di pundaknya. “Maaf ... aku udah nggak bisa menonton secara live adegan romantis kalian.”

Sasha lalu berjalan berlenggok-lenggok, bak seorang model yang  tengah berjalan di atas catwalk. Lengkap dengan cengiran lebar, yang mengundang rasa pengen di tampol keras-keras.

Mampir sebentar berbisik di telinga Rinjani. “Cepat banget dapat penggantinya Bastian. Kamu utang banyak cerita sama aku, habis ini aku akan menagih semuanya.” Bukan berbisik, tapi lebih tepatnya berkoar-koar. Satu ruangan bahkan bisa mendengar bisikan ala Sasha, sahabat gebleknya.

Rinjani mendongak dengan wajah memerah, berbisik yang sebenar-benarnya ke Sasha. “Husshhh ... diam. Dia bukan siapa-siapa, aku bahkan tidak mengenalnya.” Rinjani menatap pria itu dengan penuh permintaan maaf, akibat dari mulut comel Sasha.

“Aku nggak percaya. Udah ah ... aku telat nih. Boss killer bisa ngamuk besar kalau aku sampai telat,” tapi belum sempat tangannya menyentuh gagang pintu, Sasha kembali mengeluarkan suara yang ditujukan kepada pria tersebut. “Jaga baik-baik sahabat aku ya, dia udah pernah di sakiti oleh pria.” Lalu Sasha berlalu pergi, tak lupa melambaikan tangannya.

Hening. Mereka terpenjara dalam diam. 

Pria itu yang lebih dulu mengulurkan tangannya sambil tersenyum. “Aku Reynald. Aku datang kesini untuk memberikan ini ....” Reynald kembali menyodorkan satu buah paper cup berisi satu gelas kopi. “Aku baru saja membuka coffee shop di seberang jalan,” sambil menunjuk satu bangunan di seberang jalan tepat di depan toko bukunya.

“Aku Rinjani,” balasnya dengan kikuk. “Untuk kopinya taruh aja di atas meja, aku nggak bisa mengambilnya langsung,” ucapnya dengan penuh permintaan maaf, karen tangannya masih di gunakan untuk menutupi dadanya.

Reynald mengangguk. Lalu melangkah mendekati meja, menyimpan paper cup itu di atas meja.

Dengan santai, pria itu membuka hoodie yang sedang di pakainya tepat di hadapan Rinjani. Membuat Rinjani seketika menjerit lalu menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya.

”Hei ... apa yang kamu lakukan?” seru Rinjani, “Kalau kamu fikir kopi itu sogokan untuk melakukan sesuatu yag tidak-tidak sama saya ... aku akan ... aku ....”

“Buka dulu mata kamu.”

Rinjani mengintip di sela-sela jemarinya. Takut kalau ia mendapati sesuatu yang membuat air liurnya menetes, seperti dada bidang yang keras ... atau perut kotak-kotak.

Namun yang di dapatinya tidak sesuai yang dipikirnya, pria itu masih memakai baju kaos di dalam hoodie-nya. Ahh ... apa yang sedang aku fikirkan, jerit Rinjani dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Dengan cepat Rinjani menurunkan tangan dari wajahnya. Ia sangat malu, wajahnya pasti sudah merah padam. Belum lagi, pria itu pasti berfikiran aneh tentangnya.

“Kenapa?” tanya Reynald dengan jenaka.

“Eh, apa?” tanya Rinjani bingung dengan pertanyaan Reynald.

“Kamu kenapa? Pake tutup mata segala, pake acara jerit-menjerit lagi. Padahal aku cuma berniat untuk bantuin kamu.” Reynald menyerahkan hoodie-nya, yang di sambut dengan ragu-ragu oleh Rinjani.

“Ayo pake! Kamu nggak mau kan sepanjang hari ini tangan kamu di gunakan hanya untuk di silangkan di depan dada?” lanjut Reynald kembali lengkap dengan senyum jenakanya.

Ternyata hoodie yang sangat pas jika pria itu yang mengenakannya, terlihat sangat kebesaran di tubuh mungilnya. Terlihat lucu. Seperti orang-orang sawah.

Harum dari aroma parfum pria itu kini berpindah di seluruh tubuhnya. Sangat menenangkan!

“Seperti itu kan bagus. Kamu tidak perlu lagi menutupi dada kamu dengan tangan dan orang-orang yang melihat kamu pun tidak akan berfikiran aneh-aneh,” ucap Reynald, meneliti tubuh Rinjani dari atas ke bawah.

Rinjani menunduk malu-malu. “Terima kasih, Rey.”

“Iya, sama-sama,” balas Reynald. “Senang berkenalan dengan kamu. Dan untuk kopinya jangan lupa di minum ya ... walaupun mungkin sudah dingin.”

Rinjani menoleh ke atas meja di mana kopi itu berada. “Thanks juga untuk kopinya. Ahh ... iya aku sangat menyukai kopi. Jadi, jangan heran kalau besok-besok atau mungkin  tiap hari aku akan mampir di cafe kamu.”

Pria itu terkekeh, “Itu adalah suatu keberuntungan kalau cafe aku akan di kunjungi wanita cantik seperti kamu setiap harinya ....” pria itu kembali berkata setelah mengambil napas, “Untuk satu gelas kopi ini aku berikan secara gratis, dalam rangka promosi di dekat-dekat sini. Tapi untuk yang kedua, ketiga dan seterusnya ... aku akan meminta bayaran.”

Rinjani balas terkekeh. “Tentu saja, Tukang kopi!”

Mereka lalu tertawa bersamaan.
“Oh iya ... hoodie-nya harus kamu cuci bersih, besok balikin. Harus besok.” Reynald berkata cepat dan berbalik pergi.

Rinjani hanya menatap kepergian Reynald dengan geleng-geleng kepala. Apa itu tadi?
------------------------------------------------------------
Sel/21/07/20

Jangan lupa follow aku wattpadku ziiiiaaa

Coffee RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang