14 ll Mimpi Buruk

28 9 15
                                    

Vote! Comment! WAJIB!
SELAMAT MEMBACA!

Pagi hari, Ravindra masih tertidur dan meringkuk di atas ranjang. Rasa sakit di kepalanya sudah tidak bisa ditahannya.

Ravindra mulai menggigil ketakutan. Kalau sakit begini ia sangat menginginkan ada orang di sampingnya. Ia takut dengan kesendirian dan kesepian.

Dengan berusaha keras, Ravindra bangun dari pembaringannya, mengabaikan rasa sakit di kepala yang semakin bertalu-talu, seakan mau pecah.

Tanpa sadar Ravindra mendial nomor Rinjani, hanya satu nama itu yang terpikir di kepalanya. Wanita yang sudah masuk ke dalam relung hatinya tanpa ia sadari.

"Hallo?"

Suara lembut itu terdengar indah di telinga Ravindra. Ravindra ingin menjawab, tetapi rasa sakit itu semakin menderanya, hanya suara ringisan dan napas yang tersengal yang bisa dia keluarkan dari mulutnya.

"Hallo, Ravindra. Ada apa?"

Pasti wanita di seberang sana itu sudah berubah kesal. Terbukti dari nada suaranya yang tidak sabaran. Kalau Ravindra dalam keadaan sehat, dia pasti sudah tertawa terbahak-bahak, menertawai Rinjani yang emosian.

"Rinjani, aku sakit." Hanya itu yang bisa ia suarakan, sebelum kegelapan mengambil alih kesadarannya. Ravindra akhirnya menyerah dengan rasa sakit yang menderanya.

Sekali lagi, tidak ada yang bisa menolong dirinya. Dia akan sendiri dan kesepian, sama seperti dulu.

****

"Maaf ya, Ma! Aku enggak bisa antar sampai ke stasiun." Rinjani berkata dengan nada permohonan dan permintaan maaf pada ibunya. "Sha, antar Mama sampai ke stasiun, ya! Maaf, merepotkan!" lanjutnya lagi ke arah Sasha.

Riana tersenyum maklum. "Iya, enggak apa-apa, Sayang. Kasihan juga teman kamu kalau dibiarkan sendiri padahal tengah sakit. Orang sakit itu sangat butuh perhatian dan orang di sampingnya."

Rinjani mengangguk. Lima menit yang lalu setelah menerima telepon dari Ravindra yang mengatakan dirinya tengah sakit, rasa khawatir menelusup ke dadanya. Biar bagaimanapun, pria itu sakit juga karena dirinya, jadi sebagai teman Rinjani harus merawat laki-laki itu. Apalagi Rinjani sama sekali tidak mengetahui keluarga Ravindra untuk dimintai tolong.

Ibunya yang mengerti kekhawatiran Rinjani, langsung menyuruh anaknya itu untuk menyusul ke tempat Ravindra. Awalnya dia menolak, toh dia bukan siapa-siapa Ravindra dan ibunya juga harus ia antar pulang. Tetapi mamanya berkata kalau pun dia bukan siapa-siapa bagi pria itu, dia harus punya sisi kemanusiaan untuk saling tolong-menolong. Dan di sini Ravindra butuh pertolongannya.

"Santai saja, Jani. Mama akan saya antar dengan selamat sampai ke stasiun dan menungguinya sampai menaiki kereta api. Buruan gih pergi, takutnya Ravindra kenapa-kenapa." Ada senyum geli yang terbit dari bibir Sasha. Rinjani tahu betul ekspresi Sasha sekarang. Dan Rinjani hanya perlu menyiapkan jawaban, karena setelah ini Sasha pasti akan memborbardirnya dengan ribuan pertanyaan.

Rinjani lalu maju dan memeluk tubuh yang sudah melahirkan dan membesarkannya itu seorang diri. Wanita yang sangat ia hormati. Wanita yang telah mengambil dua peran dalam hidupnya, sebagai seorang ibu yang juga merangkap sebagai seorang ayah. Ahh ... betapa besar perjuangan wanita di depannya ini.

"Mama jaga kesehatan di sana. Jangan terlalu banyak pikiran dan istirahat yang teratur ya, Ma." Tanpa sadar air mata Rinjani menetes.

Ibunya itu mengangguk. Mengecup seluruh wajah Rinjani dengan penuh kasih sayang, lalu memeluknya. Lama mereka bertahan dalam posisi itu,  sampai kemudian ibunya yang melepas pelukan itu lebih dulu.

Coffee RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang