12 ll Coffee Romance

33 8 3
                                    

Vote! Comment! WAJIB!
SELAMAT MEMBACA!

JLEGGAAARRR ....

Suara petir yang menyambar mengagetkan keduanya dan dengan cepat melepaskan tautan bibir mereka. Rinjani yang lebih dulu menjauh dan tampak gugup.

Wajahnya berubah kemerahan, rasa malu menyeruak ke dalam dirinya. Apa itu tadi? Apa dia baru saja membalas ciuman Ravindra dan menikmatinya? Oh, God!

Rinjani berdiri dengan cepat, "Apa yang baru saja kita lakukan?" tanyanya, lebih tepatnya kepada dirinya sendiri.

Rinjani seperti orang dungu yang harus mempertanyakan kembali aktivitas yang  baru saja mereka lakukan. Sesuatu yang semua tahu kalau mereka habis ....

"Kita berciuman." Ravindra menjawab dengan santai, malah menikmati kegugupan Rinjani yang wajahnya sudah berubah kemerahan. Ravindra kembali melanjutkan, "Dan kamu membalasnya."

"STOP!" pekik Rinjani. "Jangan dilanjutkan!"

Untuk menutupi rasa gugupnya, Rinjani meraih gelas kopinya dan langsung menandaskannya dengan cepat. Ahh ... kopi ini memang penolong. Rasa gugupnya perlahan menghilang sedikit demi sedikit.

"Itu gelas kopi aku, Rinjani." Ravindra terseyum geli, mengambil gelas satunya yang juga berada di atas meja. "Yang ini gelas kopi kamu," jelas Ravindra, lalu mulai menyesap kopi itu dengan pelan, berbanding terbalik dengan Rinjani yang meminum kopinya dengan cepat dan tergesa-gesa.

Rinjani menutupi mulutnya, "Apa?!" tanya Rinjani dengan mata membelalak. Berarti dia baru saja meminum gelas bekas Ravindra? Dan pria itu malah menikmatinya? Sialan!

Ravindra tertawa. Suara tawa yang terdengar renyah di telinga. "Tidak ada yang salah dari ini, Rinjani. Kita habis berciuman dan bertukar gelas itu harusnya bukan masalah."

"Tetapi aku ... aku ...."

Ravindra menyentuh tangan Rinjani. Tetapi dengan cepat Rinjani menariknya, sehingga hanya kekosongan yang didapat oleh Ravindra, pria itu hanya bisa tersenyum miris.

"Apakah kamu menyesali ciuman kita?" Ravindra sebenarnya sangat takut mendengar pengakuan langsung dari mulut Rinjani. Ia tidak siap mendengar kalau wanita itu menyesali ciuman mereka. Tetapi, Ravindra tetap ingin mengetahuinya.

"Aku ... bukan seperti itu, Ravindra." Rinjani menggigit bibir dalamnya. "Aku hanya ingin pulang!" cicitnya tiba-tiba.

Ravindra menghembuskan napas pelan. Sekilas tadi ia menahan napas untuk menunggu jawaban Rinjani, jawaban yang sebenarnya sangat tidak ingin di dengar demi kebaikan untuk hatinya.

"Baiklah. Ayo, aku akan mengantarkan kamu!"

Ravindra berlalu dari sampingnya yang masih setia menunduk. Tidak lama kemudian pria itu keluar dari kamarnya sudah memakai jaket, dan satu lagi masih tersampir di lengannya.

"Pakai ini!" pinta Ravindra sambil menyodorkan jaket, yang langsung diterima oleh Rinjani. "Baju itu sangat pendek, dan jaket itu besar jadi bisa menutupi paha kamu yang terbuka."

Rinjani mengangguk, lalu dengan cepat mengenakan jaket kebesaran itu. Dan memang benar, jaket itu menutupi tubuhnya sampai lutut.

Keduanya lalu berbarengan keluar. Hujan sudah reda, tetapi rasa dingin masih cukup menusuk. Mobil itu melaju dalam keheningan, menembus malam dengan jalanan yang masih basah bekas dari hujan deras tadi.

****

"Sampai di sini saja, Ravindra!"

"Enggak mau!" tolak Ravindra. Penolakan yang sudah kelima kali dia lontarkan kepada Rinjani yang masih kukuh menyuruhnya pulang.

Coffee RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang