#04 : Terbuka

716 56 34
                                    

Setiap hari Minggu Eryn berangkat ke bakery shop miliknya lebih awal dari hari-hari biasanya. Nyonya Zahrawi itu lebih memilih berwirausaha setelah mendapat gelar sarjana. Azzam sebagai suami hanya mendukung keputusan sang istri hingga sekarang usahanya telah memiliki toko cabang di beberapa tempat.

"Mi, Chandra belum keluar kamar?" tanya Azzam.

Eryn yang sedang sibuk bersiap diri hanya mengangkat bahu. "Sejak ada Esha, dia jadi jarang keluar kamar kalau di rumah."

"Eh iya, Pi. Kemarin aku ngobrol sama temen yang mau cari jodoh buat anaknya, gimana kalau coba kita kenalin ke Chandra?"

"Anaknya direktur rumah sakit Medical Center itu juga lagi cari mantu denger-denger," timpal Azzam.

Dulu Azzam memang menekan Chandra agar sekolah hingga jenjang spesialis. Ia yang menolak permintaan Chandra untuk menikahi Nahla sebelum lulus kuliah. Ia hanya tidak mau, semua harapannya yang ingin menjadikan sang anak dokter spesialis sirna karena mendahulukan pernikahan. Jujur saja, ia sempat merasa bersalah dan kasihan dengan Chandra yang terpuruk melihat Nahla menikah dengan pria pilihan orang tuanya.

"Ya udah, kasih aja semua biar Chandra yang milih," ujar Eryn antusias.

"Kemarin dia izin mau ngirim proposal nikah ke Gus Ahmad juga, 'kan?"

"Iya ya, semakin banyak pilihan pasti dia makin bingung," pikir Eryn.

"Kalau aku sih, seagama, nasabnya jelas, dan yang penting cocok sama Chand." Eryn mengangguk sependapat.

"Nanti deh, kalau dia udah gak sibuk aku ajak ngobrol."

***

Aktivitas hari Minggu Chandra setelah kedatangan Naresha adalah mencuci popok, selimut, dan sejenisnya. Hari Ahad seperti ini Asih libur tidak ke rumah keluarga Zahrawi. Untuk itu, Chandra harus melakukan salah satu pekerjaan rumah tangga seorang diri.

Tak ingin meninggalkan terlalu lama Naresha di kamar tanpa teman. Chandra langsung turun ke lantai bawah setelah menjemur kain-kain basah itu di lantai dua. Langkah terburu-burunya berhenti di ambang pintu kamar saat melihat Azzam duduk menemani Naresha.

"Dia nangis?" tanya Chandra.

"Kok matanya jadi mirip Papi kalau ketawa?" pikir Azzam memperhatikan Naresha yang sedang terpejam di antara dua guling kecil.

"Dih gitu kemarin nyuruh bawa balik. Lupa?" sindir Chandra. "Kalau Papi belum umur 50 tahun, kira-kira mau adopsi gak, Pi?"

Azzam berpaling memandang anak laki-lakinya. "Ini semua udah jalan takdirmu, Chand. Kalau kamu gak patah hati, mungkin Allah juga gak mempertemukan kamu sama Naresha."

Chandra membenarkan kalimat ayahnya. Ia juga berpikir jika Tuhan seperti menyembuhkan kesedihannya melalui kehadiran Naresha. "Sudah nemu Ibu buat anak ini?" tanya Azzam kembali menatap Naresha.

"Belum." Chandra melanjutkan langkah kakinya dan berhenti di meja dekat tempat tidur Naresha.

"Jangan lama-lama lho, ingat-"

"Iya iya, aku tahu!" potong Chandra tangannya bergerak melipat pakaian anak angkatnya yang belum sempat ia rapikan setelah dicuci kemarin.

"Papi Mami mau ngenalin kamu sama kenalan anaknya temen-temen, gimana, kamu bersedia?" tanya Azzam meminta pertimbangan. Sebisa mungkin ia akan menjaga hati Chandra agar tidak retak untuk kedua kali.

Chandra menunduk tanpa berucap. Meskipun telah membuka hati, rasa was-was dalam benaknya masih mengguncang tekadnya yang hampir utuh. Tidak! Ia harus segera sadar jika semua keraguan itu datangnya dari setan, ia kemudian menepis dan membuang jauh-jauh pikiran negatifnya.

Emergency Mom [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang