#15 : Obat

588 52 12
                                    

Siang ini hanya ada tiga personel di meja kantin. Kabarnya, Chandra izin tidak masuk hingga Nahla keluar dari rumah sakit. Untung saja masa kerjanya telah mencapai satu tahun kerja hingga ia bisa mengambil jatah cuti yang sebenarnya tidak terlalu penting juga, itupun ia urus setelah proses debat panjang bersama Azzam.

Mata Meilin menatap malas beberapa makanan yang terhidang di depannya, sesekali ia berdeham membenarkan suara sumbangnya. "Mei, makan coklat gak cukup buat ngobatin kegelisahan lo semalam?" tanya Alga merasa iba.

Gadis dengan hidung merah itu menggeleng payah. Tadi malam ia mulai memaksa diri untuk mengikhlaskan Chandra. Namun ternyata ia merasa kesulitan. Masih dalam tahap membayangkan hidup untuk menghindari Chandra saja ia sudah tidak sanggup.

"Coba lo ke rumahnya, siapa tahu dia mau ngobrol?"

Meilin masih menunduk, air matanya terus mendesak keluar saat ia merasa jika perjuangannya mungkin akan berakhir percuma, apalagi jika mengingat ia harus segera menikah agar Rara dan Angga juga bisa menjalankan salah satu anjuran agama itu. Memang benar ternyata, hidup manusia tidak jauh dari kata pilihan, keputusan, dan bertahan.

Di sisi lain sampai detik ini Alga dan Bima belum menceritakan perasaan Chandra yang sempat tumbuh pada Meilin. Mereka takut, kenyataan itu bisa membuat Meilin semakin merasa jika semuanya hanyalah harapan palsu, apalagi Chandra juga belum bisa dihubungi. Ya, mungkin sekarang bukanlah waktu yang tepat. Karena bukan hanya Chandra yang butuh waktu untuk merenung, Meilin pun sama.

"Nanti aku coba ke sana ya, kangen Naresha juga soalnya," ucapnya serak.

"Dah jangan nangis. Cengeng banget. Baru juga masa penjajakan udah mau runtuh aja. Padahal, setelah nikah makin banyak badai menerjang."

"Idih sok banget! Nikah aja belum!" protes Meilin.

"Emang belum, makanya gue mau fokus karir dulu," ujar Bima.

"Itu kamu juga namanya menghindari masalah," balas Meilin.

Bima diam memikirkan jawaban yang cocok untuk menangkis kalimat lawan bicara. Namun gagal, tidak ada bahan yang cocok untuk membalas pernyataan Meilin. Di balik mata sembapnya Meilin tersenyum penuh kemenangan. 

"Karena wanita selalu benar, gue ngalah lebih awal!"

***

Chandra menelungkupkan diri di atas kasur ditemani Naresha yang sedang berusaha mengubah posisi agar sama dengan ayahnya. Bayi itu seakan menghibur hati Chandra dengan tingkah lucu. Dan memang akurat, Chandra berhasil tersenyum melihat Naresha nampak geram karena terguling berkali-kali saat ia gagal membalikkan tubuhnya. Meskipun pada kenyataannya tersenyum bukanlah tanda jika hatinya telah baik-baik saja.

Bayangan ia menyentuh perut buncit Nahla hingga proses dimana ia mengeluarkan kepala bayi dari robekan yang ia buat masih terpampang nyata diingatannya. Kenapa tidak ada sistem penghapus ingatan selain waktu? Apa perlu ia berubah menjadi saintis agar bisa menemukan benda canggih tanpa menunggu abad Doraemon?

Hanya dengan berpikir konyol Chandra bisa menghibur diri. Itupun berlaku beberapa menit dan setelahnya perasaan negatif muncul mendominasi. Apalagi saat matanya terpejam, ia seperti sedang menonton kenangannya di layar bioskop, sangat amat jelas dengan bonus suara menggema di setiap sisi telinga. Ternyata penggambaran adegan flashback di film-film yang sempat ia sebut alay itu tidak menipunya. Kini semua terjadi pada dirinya sendiri.

Chandra mengubah posisi tubuh menjadi miring dengan tangan menyanggah sisi kiri kepala. Ia mengusap lembut pipi bulat Naresha dengan ibu jari. "Kalau cari ibu buat kamu Ayah tunda dulu gimana, Sha?"

Emergency Mom [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang