Prolog

57 3 1
                                    

Terkadang kita pernah merasa bahwa sesuatu telah selesai, namun masih saja hati ini tidak enak seperti khawatir akan hal yang telah kita selesaikan ternyata belum selesai sepenuhnya. Perasaan tak karuan, rasa khawatir yang berlebih, terlalu banyak berpikir negatif. Seperti yang kurasakan saat ini, antara gelisah bercampur lega.  Aku membiarkannya tertabrak, tapi bukan ini yang kumau. Entah mengapa saat itu tak dapat kukendalikan tubuh ini. Dia, menatapku dengan penuh harapan untuk menolongnya, tetapi mengapa yang terjadi malah ini?!

Kenapa?

KENAPA?

A-Aku melakukannya dengan benar kan? Tapi kenapa malah begini? Tiap petikan dan nada kumainkan dengan penuh perasaan dan harapan agar dirinya selamat dan jalan takdirnya berubah kearah yang kuinginkan. Kearah yang lebih baik. Dimana kami masih bisa tertawa bersama sampai kelulusan. Suasana rumah sakit ini benar-benar tenang, membuatku sedikit bisa mengontrol pikiran. Aku duduk di sebuah kursi didepan ruangan Ayaka, dengan gitar takdir disebelahku. Rasanya aku sudah tak ada keinginan untuk mengangkat telepon atau mebalas notifikasi Line dari temanku yang bertanya akan kondisi Ayaka sekarang. Ada suara pintu terbuka, seseorang dengan jas putih ala dokter menampakkan diri, langsung saja tanpa pikir panjang aku berlari kearahnya.

"Dok, b-bagaimana kondisi Ayaka sekarang?" dia nampak sedikit ragu untuk menjawabnya.

"Maaf, untuk sementara waktu orang tua nya menyuruh kami untuk tutup mulut terkait kondisinya. Namun bisa saya simpulkan saudara tidak perlu khawatir"

"Terima kasih" aku menunduk sedikit ke dokter itu.

Aku membeli beberapa bento dan minuman dari kantin rumah sakit untuk mengganjal perut. Aku sedari awal tidak berencana untuk kembali ke rumah, rasanya tidak enak bila aku pulang duluan. Bisa saja aku dimintai keterangan atau ditanya "Mengapa kau tidak menyelamatkannya?!". Aku tak bisa beralasan bahwa gitar yang kumainkan tidak berfungsi, ataupun aku salah memainkannya. Pada dasarnya aku adalah orang yang memulai semua ini, dan pada akhirnya aku juga yang harus bertanggung jawab. Aku tak bisa lagi berbohong bahwa aku sedang menangis meratapi kesalahanku, bahkan suster-suster atau pasien yang lewat saja dapat mengetahuinya dengan mudah. Mengapa, kakek itu memilihku untuk menyelamatkannya? Kenapa tidak orang lain saja? Di dunia ini terdapat ribuan bahkan jutaan pemain gitar yang profesional dan lebih ahli dariku. Mungkin aku dapat menebak alasannya, aku adalah satu-satunya gitaris paling baik di sekolah.

"Tanaka?" suara itu...

Kakek itu, dia datang ke rumah sakit ini dan menemukanku. Mukanya mengisyaratkan bahwa dia tak tahu apa yang telah terjadi. Dia mendekatiku.

"Apakah kau berhasil menyelamatkan Ayaka?" pertanyaan ini terasa menghakimi ku.

Mau tak mau aku harus menjawab pertanyaan ini, dengan jujur. Aku tak akan menyalahkan gitar takdir

"Maaf, tapi..."

Petikan Takdir (運命の選択)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang