Senar Takdir

32 2 0
                                    

Tokyo, sebuah pemandangan kota yang selalu kuterima dengan kedua pasang mataku. Bagiku, kota ini adalah sebuah pemandangan yang biasa ku lihat, namun entah mengapa tidak ada bosan-bosannya aku memandangi segala sudut kota ini. Dari jendela apartemen ini, aku dapat melihat hampir seluruh bagian kota. Matahari masih bersembunyi diantara gedung-gedung yang menjulang tinggi. Lamunan ku seketika terbuyar oleh sebuah getaran dengan suara yang samar-samar. Aku merasakan sesuatu bergetar di pantatku. Oh, ternyata hanya alarm ponsel. 'Entah mengapa aku selalu bangun sebelum alarm ponsel ini berbunyi' pikirku sambil memandangi notifikasi satu persatu.

"Tidak ada yang penting"

Kumatikan ponsel ku dan meletakkannya di meja di sebelah ranjangku. Kuturuni ranjang, meranjak ke wastafel untuk membasuh muka. Air yang membasahi wajahku mengalir ke dagu dan menetes kembali ke wastafel. Saatku melihat wajahku di kaca yang sedikit berembung, aku tersadar bahwa ada sebuah kertas -mungkin semacam surat, yang terletak diatas meja makan. Aku langsung mengambil kertas itu setelah ku keringkan wajahku. Kertasnya sedikit menjadi basah dikarenakan jari tanganku masih sedikit lembab. Ya, selama isi nya tidak ikut basah maka tidak apa-apa.

"Dari ibu dan ayah? Hah?! Jadi tadi malam mereka mampir?" Ibu da ayah memang jarang sekali mampir ke apartemen.

Mereka berkerja di luar kota dan jika ada kesempatan mereka akan datang ke apartemenku. Biasanya mereka akan mampir di akhir pekan atau akhir bulan. Namun untuk sekarang mereka datang di hari rabu, mungkin mereka meninggalkan surat ini disaat aku tertidur. 'Mereka tidak tega untuk membangunkanku' pikirku. Lantas tanpa pikir panjang aku langsung merobek bagian atas surat itu layak menarik kemasan nasi kepal yang sering ku beli di minimarket.

'Sreeek', suara sobekan kertas yang indah.

Kupandangi tulisan tangan yang membekas di surat ini. Lekukan dan garis, serta cara menulis, tak perlu diragukan lagi ini adalah tulisan ibu. Bola mataku mengikuti arah huruf ini ditulis. Mengartikan kata demi kata menjadi sebuah kalimat. Kalimat demi kalimat menjadi sebuah pesan. Pesan yang yang panjang ku artikan secara singkat di pikiranku. Begitu mengetahui isi surat ini, mulut ini terdiam seolah tidak berdaya untuk mengucapkan sepatah kata pun. Pikiranku seolah memaksa mulutku berbicara demi memastikan secara pasti apa yang kubaca. Ayah dan Ibu, mereka...

"...mereka pergi ke Eropa?"

Aku tidak menyangka bahwa pekerja berat seperti mereka bisa berjalan-jalan keluar negri. Aku sebagai anak muda merasa iri. Ya, tapi karena ini orang tuaku, aku tidak bisa protes dan mungkin mereka tidak sedang jalan-jalan. Semacam perjalanan kerja atau studi banding mungkin. Memang sudah impian ku untuk menginjakkan kaki di benua Eropa. Inginku merasakan musim dingin disana dan melihat orang memainkan biola dengan indah. Ya, walau di Jepang juga banyak orang yang dapat memainkan biola, namun sensasinya sudah pasti jauh berbeda. Ya, kurasa cukup memandangi surat ini sambil membayangkan Eropa, saatnya ku melanjutkan rutinitas.

Aku menyantap sarapanku dengan sedikit cepat karena aku baru teringat bahwa jas sekolahku kusut dan harus segera menyetrika nya. Kukenakan jas, lalu memasang dasi. Mengecek isi tas, buku, buku, buku, pulpen, dan buku lagi. Kaos kaki kukenakan, kuraih gitarku yang bersembunyi di sela-sela lemari. Kupakai sepatu berpergian dan membuka pintu menuju garis start kehidupan sekolahku.

"Tak terasa pensi sebentar lagi" gumamku saat menaiki bus kota.

Bus pun berhenti di halte yang tak terletak jauh dari sekolahku, SMA Ashino. Ku mengganti sepatuku sesaat sebelum temanku mengejutkan ku.

"Yo, Takeshi!"

"Kau terlihat berbeda hari ini"

"Eh, apanya yang berbeda?"

"Oh iya? Kenapa ekspresi mu lebih gembira dari sebelumnya" aku berbalik kearahnya setelah menutup pintu loker.

"Hehehe, tebak. Aku terpilih sebagai tokoh utama untuk pensi nanti!"

Petikan Takdir (運命の選択)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang