Sacha Leonidovic berdiri tenang dengan koper kecil ditangannya. Pindah rumah dari dulu selalu menjadi hal yang ia benci. Jujur saja, semua yang berhubungan dengan 'dunia luar' tak pernah ia sukai.
Melihat ke sekeliling rumah dihadapannya ini, ia hanya bisa menghela napas. Halaman rumah ini sangat luas dengan banyaknya tanaman hias yang tumbuh. Tandanya ia harus sering ke luar rumah untuk menyiram tanaman. Terlebih pagar sekeliling rumah ini sangat pendek. Bahkan tidak mampu menutupi setengah tubuh menjulangnya itu. Mau tak mau, pasti dirinya akan terlihat orang luar jika sedang menyiram tanaman.
Atau mungkin, ia bisa menyiram tanaman saat tengah malam. Ketika lingkungan rumah ini sepi dari aktivitas warganya.
Jam di tangan Leo sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Tadi ia sudah memberitahu Bukde Diana akan tiba pukul enam sore. Sayangnya jalanan begitu macet, sehingga perjalanannya dari bandara memakan waktu lebih lama.
Melangkahkan kaki lebih dalam, pintu rumah itu tiba-tiba di buka oleh seseorang yang ia tebak Kiki, sepupunya. Ah, sudah lama sekali ia tak melihat sepupunya ini. Dulu terakhir kali ia melihat Kiki, anak ini masih balita.
Saking lamanya tidak berjumpa, Leo bingung bagaimana harus menyapa manusia yang hanya berdiri diam menatapnya ini. Ia tidak pernah bisa berbasa-basi.
Semakin lama, rasa canggung kian pekat. Leo tahu ia harus berbicara, tapi ia bingung rangkaian kata seperti apa yang harus ia lontarkan. Hingga akhirnya Budek Diana datang dan memecahkan kebisuan dua orang manusia ini.
"Loh, Leo sudah datang?"
Diana kemudian membuka pintu lebih lebar, mempersilahkan keponakannya masuk. "Ki, kenapa mas mu ini gak dikasih masuk nak? Ayo salim dulu sama Mas Leo."
Dengan canggung Kiki dan Leo bersalaman. Ah, rasanya sudah lama sekali Leo tak diperlakukan seperti ini, membuatnya mau tak mau sedikit merasa risih.
"Aduh, kamu pasti capek banget ya nak. Berapa jam tadi di pesawat dari Rusia ke sini? Eh, ya ampun pasti belom makan kan? Ayo makan dulu, sudah ada pakde mu di meja makan itu. Ayo nak." Diana menggiring Leo menuju meja makan.
Sebenarnya, Leo memang belum sempat makan malam. Tapi ia sama sekali tidak merasakan lapar. Mungkin karena rasa gugupnya. Kalau boleh memilih ia ingin sekali langsung membersihkan tubuh kemudian merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Sayangnya, menolak tawaran bukdenya juga bukan pilihan yang baik. Jadi, mau tak mau ia memutuskan untuk ikut makan malam.
Begitu ia duduk di meja makan, tiba-tiba ia merasa sangat kenyang. Padahal baru melihat makananya saja. Bukannya dia tak menyukai makanan Indonesia. Jujur saja, makanan Indonesia adalah favoritnya. Tapi Leo tak terbiasa makan bersama, terlebih dengan orang-orang yang tak terlalu ia kenal. Memang sih, ia masih memiliki ikatan darah dengan keluarga ini, tapi sudah hampir sepuluh tahun ia tidak bertemu dengan mereka. Jadi tak salahkan jika Leo menganggap mereka orang asing?
Diana dengan sigap segera memberikan nasi dan berbagai lauk pada piring Leo. "Bukde, sedikit saja." Leo mencegah Diana yang akan menambah porsi makan dipiringnya.
"Loh, jangan dong. Liat deh kamu kurus banget, harus banyak makan." Diana tersenyum sambil memberikan piring yang telah diisi ke hadapan Leo. Mempersilahkannya untuk makan.
Leo menatap piringnya yang sudah meggunung dengan berbagai lauk. Tiba-tiba ia merasa mual. Ditambah dengan tatapan tajam Kiki, sepupunya yang duduk dihadapan Leo. Membuat Leo merasa sangat tidak nyaman. Bahkan ia yakin punggungnya kini sudah basah dengan keringat. Padahal cuaca malam ini cukup sejuk.
Leo memaksakan diri mengambil satu suapan. Sebenarnya ini adalah salah satu makanan favoritnya, ia biasanya bisa menghabiskan dua porsi sendirian. Tapi kini, ia menelan makanan ini layaknya menelan batu. Sangat sulit.
KAMU SEDANG MEMBACA
UP STREAM
أدب نسائيMasayu gadis yang punya profesi sebagai anggota SAR alias search and rescue, lebih sering berada di lapangan dari pada di rumah. Padahal ia mempunyai seekor kucing oren nakal yang perlu diurus dan diberi makan setiap hari. Untungnya, ia memiliki tet...