Bab 6

95 18 0
                                    

PAPER BURN
Something missed ... at Bandung Lautan Api. 

--------------

Semua kejadian tentu akan menciptakan sebuah kenangan yang akan diingat terus dalam memori otak, hingga menunggu saatnya untuk dilupakan. Seperti halnya dengan peristiwa pembumihangusan Kota Bandung tadi malam, itu mencipta dua rasa yang saling berbenturan. Perasaan bahagia karena telah menang melawan Inggris dan perasaan sedih karena masyarakat kini tak memiliki tempat untuk bernaung.

Arudji sendiri paham dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat saat ini. Mereka pergi dengan perasaan kalut dan kembali dengan diiringi tangis pilu.

"Kita kembali ke gedung militer lebih dulu." Arudji memberi arahan pada rekan-rekannya.

Jika saja dirinya tidak dalam masa bertugas, mungkin Arudji sudah berlari ke bekas rumahnya dan mencari tahu apa yang dimaksud oleh George pada secarik kertas yang masih tersimpan apik dalam sakunya.

Kaleng, kaleng apa?

Tepat sebelum Arudji dan yang lainnya bertolak ke gedung militer, Aruna datang menghampirinya. "Aa' pulang dulu atau langsung ke gedung polisi?"

Arudji mengusap kepala adik manisnya, menyejajarkan tinggi tubuhnya dengan Aruna dan berujar lembut, "Nanti jika aa' sudah selesai dengan urusan di sana, aa' akan segera kembali dan membantu Ibu juga Aruna membangun rumah. Tunggu aa', ya ...." Melihat sorot mata adiknya yang berkaca-kaca seperti itu mana tega dirinya. Namun, setelah memberikan pelukan erat, Arudji segera bangkit dan menyusul rekan-rekannya yang telah lebih dulu berjalan.

Setibanya di gedung polisi militer, Komandan Rukana telah menyambut kedatangan mereka dengan raut bahagia. Kemenangan telak yang diperoleh masyarakat Bandung wajib untuk dibanggakan, meskipun terdapat kesakitan di balik semua kejadian ini.

Gedung polisi militer tidak sepenuhnya terbakar. Bangunan ini cukup kokoh, karena sudah tersusun dari batu dan beton. Berbeda dengan rumah masyarakat yang kebanyakan masih menggunakan bambu untuk kerangkanya.

"Komandan, apakah keadaan sudah kembali kondusif?" Joko tampak antusias ketika bertanya, sepertinya dia sudah tak sabar ingin kembali pada keluarganya.

Tarikan di kedua sudut bibir Komandan Rukana membuat para polisi muda bersorak gembira. "Ya, kondisinya memang sudah kondusif. Kita telah berhasil memukul telak pihak Inggris untuk mundur, tapi kalian masih memiliki tugas lain sebelum beristirahat."

Beberapa orang tampak mendesah kecewa dan yang lainnya juga terlihat kebingungan.

"Tenang-tenang, tugas kalian tidak berat kali ini. Kalian hanya perlu pulang ke daerah tempat tinggal masing-masing dan membantu warga dan para tentara membangun kembali tempat bernaung mereka. Itu bukan tugas yang berat bukan?

Semua orang kembali bersorak dan setelah memberikan salam hormat, satu-satu dari rekan Arudji mulai melangkah pergi kembali kepada keluarga masing-masing. Arudji adalah yang terakhir melangkah menghadap Komandan Rukana, membungkuk penuh hormat. Setelah mendapatkan senyuman ringan dan anggukan, Arudji segera bertolak dari hadapan Komandan Rukana.

Begitu membalikkan badan, Dai Arudji mengambil ancang-ancang setelahnya ... dia berlari dengan begitu cepat. Ingin segera menemui ibu dan Aruna, juga menuntaskan rasa penasarannya akan pesan yang ditinggalkan George untuknya.

***

Langkah Dai Arudji semakin melambat ketika kakinya telah menapaki lingkungan tempat tinggalnya. Semuanya lenyap, hangus terbakar dan hanya menyisakan puing-puing yang sebagian bahkan sudah tak dapat digunakan lagi karena rapuh. Di sepanjang jalan, matanya tak lepas dari para warga yang kini mulai disibukkan dengan kegiatan membangun kembali rumah mereka.

Segera Arudji mempercepat langkahnya. Ibunya seorang janda, jika tidak ada yang membantunya maka dia akan kerepotan sendiri.

"Aa'!" teriak Aruna begitu melihat Arudji berjalan ke arahnya yang tengah membersihkan puing-puing tak berguna.

"Aruna, aa' sudah kembali."

Matanya mengedar mencari sosok ibunya, dia tersenyum ringan ketika beberapa orang---warga dan tentara---membantu sang ibu memunguti puing dan beberapa lainnya membantu mendirikan naungan dengan kerangka bambu.

Tiba-tiba Dai Arudji teringat akan sesuatu. Tubuhnya secara refleks bergerak ke arah bekas kamar yang dulu ditempatinya. Tangannya terulur mengobrak-abrik puing-puing yang sudah hangus terbakar. Beberapa menit berlalu, tetapi Arudji masih juga belum mendapatkan apa yang dia harapkan dari clue yang ditulis George.

Ah! Sesuatu berbentuk kotak tertangkap indra penglihatannya. Arudji menggeser ranjang besi yang masih berdiri dengan tenang meskipun sudah tak berupa.

"Apakah itu kaleng yang dimaksud oleh George?" gumamnya.

Di bawah kerangka ranjang tersebut, di sisi kaki ranjang terdapat sebuah kaleng yang sudah tampak mengenaskan. Ketika Arudji mengambil benda tersebut dan membukanya, ada 2 lembar kertas di dalamnya. Satu masih utuh tergulung dengan tali yang mengikat erat membentuk pita dan yang satu lagi telah terbakar akibat kaleng yang bersifat konduktor.

Arudji mengambil kertas yang masih tergulung tersebut, menarik salah satu ujung pita dan itu adalah sebuah lukisan. Arudji tertegun melihat karya George itu, bagaimana tidak? George benar-benar melukiskan dirinya dengan begitu detail. Mulai dari mata, hidung, rambutnya, bahkan itu lebih tampak seperti sebuah foto daripada lukisan tangan manusia.

"George, kau memberikan ini untukku? Terima kasih ...."

Dai Arudji memang berbicara sendiri, anggap saja dia berbicara dengan angin yang berembus dan berharap angin dapat menyampaikan rasa terima kasihnya untuk George, meskipun mustahil.

Ketika atensinya beralih pada kertas satunya yang menampilkan deretan kalimat, Arudji mengeryitkan dahi. Dalam kertas tersebut hanya tersisa beberapa larik kata saja, karena larik berikutnya terpotong oleh api yang menghanguskan kertas tersebut. Dai Arudji berpikir keras sebenarnya apa yang akan disampaikan oleh George karena pada deretan kalimat yang ada hanya menampilkan kata-kata puitis seperti yang biasa George tulis. Ya, selain gemar melukis George juga pandai berpuisi.

Baru saja Arudji akan membaca ulang kalimat tersebut seseorang telah memanggilnya, memintanya untuk bergabung dengan para tentara dan warga membangun kembali tempat tinggal mereka.

"Dai, bantu kami agar cepat selesai."

"Iya, aku datang!" sahut Arudji.

Aruna yang kebetulan berada di belakang tubuh Arudji terkejut ketika sang kakak tiba-tiba membalikkan badan dan menyerahkan kaleng dengan dua kertas di dalamnya. "Bawa ini dulu untuk aa', jangan dibuang!" pesannya pada Aruna sebelum beranjak.

"Iya, A' ...."

Melihat rupa kertas yang cukup familier itu, rasa penasaran Aruna pun tergugah. Dia mengambil kertas tersebut dan membukanya, seketika senyuman manis hadir menghiasi wajah gadis manis tersebut. "Ah, ini kan lukisan yang dibuat Aa' Jo waktu itu, ternyata masih utuh. Sayang sekali, Aa' Jo belum sempat membuatkan untuk Aruna ... Aruna, kan, juga mau."

Raut mendung menyambangi wajah Aruna kini. Gadis manis itu teringat kembali ketika George berpamitan pada ibu dan dirinya untuk pergi. Jujur saja, Aruna juga tidak rela. Dia sudah menganggap George seperti kakaknya sendiri, tetapi yang dapat Aruna saat ini hanya terisak dan menangis tersedu-sedu. Dia bahkan tak bisa membalas ucapan pamit yang dilontarkan George karena sibuk menangis. Apalagi kala mobil yang ditumpangi tuan Belanda itu melaju dan menghilang dari pandangan.

"Aa' Jo ... semoga kita bisa bertemu lagi, Aruna pasti akan merindukan aa'."

Ibu Aruna mendengarkan kalimat itu, tanpa sadar seulas senyum dan setitik air mata hadir secara bersamaan. Meskipun, dia melepaskan George pergi dengan rasa kekecewaan, tetapi tak dapat dipungkiri bahwa George sudah dianggap layaknya putra kandungnya sendiri.

Ibu berharap kau jangan pernah kembali George ... awalilah kehidupanmu yang baru di negerimu. Karena kau dan Arudji ... memang seharusnya berpisah seperti ini.

Paper Burn [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang