PAPER BURN
Something missed ... at Bandung Lautan Api.---------
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Satu minggu telah terlewati, tetapi bagi Dai Arudji sepekan terakhir ini begitu berat. Aruna terus menerus datang padanya, menanyakan kapan George akan kembali dan di mana dia berada? Hal yang sama, yang juga dipertanyakan oleh Arudji di dalam hati.
Walaupun Arudji tahu keberadaan George, tak memungkinkan baginya untuk menyusul pemuda tersebut. Lagi pula dengan alasan apa dia pergi menemui George, rindu? Klasik sekali.
"A', boleh Aruna masuk?"
Dengan menyembulkan sedikit kepalanya di gorden penutup gawang pintu, Aruna dengan aura sendu ingin mencurahkan keluh kesahnya seperti hari-hari sebelumnya.
Haruskah Arudji berterima kasih pada George? Sejak George pergi, Aruna lebih menempel padanya. "Aruna kemarilah ...." Arudji langsung memeluk adik perempuannya itu.
"Ada apa, heum?"
"Aruna rindu dengan Aa' Jo ...."
Ya, setiap hari Aruna akan mengatakan hal yang sama sebagai pembuka perbincangan, sebelum bercerita banyak hal tentang George hingga akhirnya terlelap.
Dari apa yang dikatakan oleh Aruna, Arudji menyadari satu hal. Ternyata dirinya selama ini tidak terlalu memperhatikan pertumbuhan adiknya Aruna dan George yang juga sudah dianggapnya sebagai adik juga. Tiba-tiba dia teringat sesuatu, percakapan yang dilakukannya dengan George malam itu.
"George, sekarang kau sudah berusia 17 tahun, apa kau ... belum pernah merasakan jatuh cinta?"
"Jatuh cinta? Tentu saja pernah, tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Aku tidak tahu dia menyukaiku atau tidak? Lagipula sepertinya apa yang aku rasakan ini sesuatu yang aneh dan tak mungkin mudah untuk diterima, tapi aku sangat mencintainya."
Ketika menanyakan kalimat tersebut dan mendengar jawaban yang diberikan oleh George, Arudji hanya berpikir jika seseorang yang dicintai oleh George adalah wanita cantik yang mungkin tak sengaja ditemuinya. Namun, kini saat dirinya telah mendapatkan maksud dan arti dari kalimat ambigu itu, Arudji merasa dilema. Arudji tak pernah berpikir, George ternyata tidak pernah memandang dirinya sebagai saudara, tetapi sebagai sosok yang dicintainya.
Semua terbongkar ketika Aruna yang kini terlelap di pangkuannya memberikan sebuah buku. Arudji mulanya tidak paham, yang dia tahu, Aruna terus mendekap erat buku itu beberapa hari terakhir ini.
Ternyata itu adalah buku milik George. Dalam buku ini pula tercatat puluhan puisi cinta yang begitu indah. Selain itu, beberapa kalimat curahan hati George juga tertuang di dalam sini. Salah satunya tentang George yang jatuh cinta pada dirinya.
"Apa ini?" keluh Arudji.
Diremas segenggam helai rambutnya, ditarik cukup kuat dan berharap apa yang baru saja dibacanya dari buku bersampul hitam polos yang sudah tampak usang itu bukanlah hal yang nyata. Namun, Arudji juga tak bisa menampik kenyataan bahwa segelintir rasa bahagia dengan kurang ajarnya menelusup masuk ke dalam relung hatinya.
"George ... inilah mengapa saat itu kau berkata perasaanmu aneh, rasa cintamu tidak dapat diterima. Itu semua karena kau ... mencintaiku?"
Arudji menghela napas kasar, emosinya meluap-luap dan beruntungnya, Aruna tetap terlelap dalam mimpi indahnya. "Heh, kenapa sulit sekali rasanya untuk mempercayai semua ini?" gumamnya kembali.
***
Malam yang semakin larut memperdengarkan senandung alam yang tak sebegitu meriah seperti beberapa waktu yang lalu. Arudji memindahkan kepala Aruna pada bantal di tempat tidurnya, membenarkan posisi gadis manis itu dan mengecup dahinya sebelum beranjak keluar dari kamar.
Sarayu menyapanya ketika Arudji menapaki halaman depan rumah sederhana yang dibangun secara bergotong royong ini. Lincak panjang yang biasa digunakannya untuk bercengkerama dengan George kini telah tiada, digantikan dengan bangku kayu yang dia buat mendadak tadi sore.
"Kau belum tidur, Dai?"
Tubuh Arudji sedikit berjengit mendengar suara wanita masuk ke dalam indra pendengarannya. Itu ibunya, yang melangkah menghampiri dirinya.
"Belum, Bu. Ibu sendiri kenapa belum tidur?"
"Ibu baru saja menengok Aruna, ternyata dia tidur di kamarmu lagi."
"Iya, Bu, sepertinya Aruna sangat merindukan George, sehingga setiap malam dia terus menanyakan keberadaannya."
"Lalu bagaimana denganmu, apa kau juga merindukannya?"
Arudji terdiam sejenak sebelum menjawab lirih sembari menundukkan kepala, "Tentu ...."
Hampir tak terdengar oleh penderngaran sang ibu, apalagi gemuruh angin yang berembus juga mengaburkan suaranya. Namun, ibu Arudji sudah dapat melihatnya dengan jelas jika Arudji juga merindukan sosok yang sudah bertahun-tahun tinggal bersama keluarganya itu. Rasanya begitu sesak, tetapi itu bukanlah sesuatu yang dapat dia cegah.
Ibu Arudji ikut terdiam, menatap jalanan lengang yang berhiaskan lantunan alam. Dirinya teringat kembali akan kalimat yang terucap dari sosok yang sudah dianggapnya sebagai putra kandungnya sendiri itu. Saat itu, dirinya hanya tersenyum ringan ketika George berkata, 'Ibu, maafkan aku ... maaf aku harus pergi sekarang dalam situasi seperti ini.'
Namun, senyumannya luntur seketika kala mendengar kalimat berikutnya yang diucapkan oleh George. Sebuah tamparan keras seketika melayang dari telapak tangan sang ibu. Waktu itu emosi hampir saja lepas kendali. Jika dirinya tak memikirkan tempat dan situasi di mana mereka berada saat itu maka sudah dapat dipastikan tidak hanya tamparan yang didapatkan George.
"Dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku juga ingin meminta maaf pada 1bu. Sebelum aku pergi, aku ingin mengatakannya, agar tidak menjadi beban yang terasa mengganjal di dalam hatiku. Ibu ... maafkan aku yang telah lancang dan bertindak kurang ajar, maafkan aku karena aku begitu berani dan tak mengindahkan norma yang ada, maafkan aku karena aku ... aku jatuh cinta pada putramu, Dai Arudji. Aku mencintainya Bu, maafkan aku ...."
Syok dan sakit, yang dirasakannya ketika George berkata seperti itu. Tak dapat dirinya menahan lagi, sebuah kalimat pun terlontar begitu saja. Membekali luka pada George yang akan bertolak kembali ke negerinya.
"Pergilah! Dan jangan pernah kembali lagi ke sini. Lupakan bahwa kita pernah menjadi keluarga, aku menyesal telah menganggapmu putraku, seharusnya Dai membiarkanmu mati saja saat itu."
Sekilas percakapan itu melintas dalam benak Ibu Arudji. Itu juga yang menjadi penyebab dirinya tak tenang sepekan ini. Masih tergambar jelas, bagaimana raut George ketika melangkah mundur setelah membungkuk dalam-dalam padanya.
Arudji mengeryitkan dahi. Setetes air mata yang meluncur jatuh dari pelupuk mata sang ibu membuatnya khawatir. Ada apa gerangan ibunya menangis seperti ini? Apakah ibu merindukan suasana rumahnya yang dulu atau merindukan George juga?
"Dai ...."
"Ya, Bu."
"Ibu merasa bersalah pada George."
Kalimat itu semakin membuat Arudji tak mengerti. Bersalah kenapa? Sebenarnya apa yang terjadi pada malam pembumihangusan itu? Di malam George pergi dan bahkan, dirinya belum sempat bertemu untuk yang terakhir kalinya. Puluhan pertanyaan tengah siap untuk dilontarkan jika saja ibunya tak membuka suara terlebih dahulu.
"George menyukaimu."
Dheg!
Arudji merasakannya jantungnya berdegup kencang, tetapi hanya sekali. Meskipun begitu, degupnya mengantarkan sebuah rasa gamang dalam dirinya.
"George, dia ... dia mencintaimu."
Tarikan di sudut bibir Arudji yang terkesan kaku adalah sambutan atas apa yang ibunya katakan. "Ah ... bukankah itu wajar, Bu, jika George mencintaiku? Sebagai saud---"
"Sebagai seorang lelaki, layaknya pasangan kekasih. Bukan saudara."
" ... "

KAMU SEDANG MEMBACA
Paper Burn [✓]
Fiction HistoriqueDia tidak hilang atau mati, tetapi dia pergi meninggalkan Dai Arudji dengan secarik kertas usang yang sudah separuh hangus dilahap api. Padahal pada bagian yang terbakar itu, ada beberapa larik kalimat penting yang ingin disampaikan olehnya, oleh G...