Bab 7

80 15 0
                                        

PAPER BURN
Something missed ... at Bandung Lautan Api. 

-------------

Ini sudah hari ke-2 setelah kembalinya warga Bandung ke daerah masing-masing pasca peristiwa pembumihangusan hari itu. Beberapa warga telah mendapatkan kembali tempat tinggalnya, meskipun sederhana setidaknya dapat digunakan untuk bernaung dan menyambung asa.

Pagi yang didapatkan Dai Arudji kali ini tak sama lagi seperti yang telah berlalu. Biasanya ketika dia membuka kelopak mata, suguhan pertama disaksikannya adalah paras rupawan dari sosok George van Houten. Namun, pagi ini entah mengapa begitu hampa. Harusnya dirinya merasa bahagia bukan? Kekacauan telah berakhir dan semua sudah kembali seperti sedia kala.

Tetapi yang dirasakan Dai Arudji saat ini adalah ada suatu bagian dalam dirinya yang ikut menghilang. Tubuhnya dia bawa bangkit mendudukkan diri, termenung sejenak sebelum meraih secuil kertas yang ditinggalkan George.

***

Terngiang nyanyian alam berpadu dengan gemuruh sarayu yang datang. Di sini aku selalu mengukir dalam ingatan, tentang dirimu, yang menjadi pahlawanku, yang menjadi malaikatku, menjadi bagian dari hidupku, hingga ... rasa itu perlahan merasuk kalbu.

Aku berpikir, awalnya itu hanya ilusi yang mengganggu. Namun, semakin aku mengelak, semakin besar pula keyakinan yang memupus keraguanku.

Dai Arudji ... tahukah kau, betapa aku mengagumimu?

Ah, tidak.

Lebih tepatnya, aku menc---

" ... "

Tak ada lagi lanjutan dari kalimat itu. Noda kehitaman bekas panas yang membakar kertas tersebut mengaburkan tulisan tersebut, hingga ada beberapa kata lagi yang tak dapat terbaca. Selain itu, melihat ukuran kertas yang serupa dengan kertas bergambar lukisan dirinya, kemungkinan ada beberapa kalimat lagi yang terdapat dalam kertas ini. Namun, sayang sekali ... Arudji hanya dapat mendesah kecewa, dibarengi dengan rasa ingin tahu yang mendera.

"Dai, sudah bangun?" suara sang ibu mengalun lembut dari ambang gawang pintu yang tertutupi gorden sederhana.

"Iya, Bu."

Secarik kertas usang yang sejak tadi digenggamnya dia letakkan di atas seragamnya, bersisian dengan kaleng gosong dan lukisan dirinya. Tubuhnya dia paksa untuk berdiri dan melakukan perenggangan otot, hanya sekejap karena setelahnya Arudji segera keluar dari kamarnya.

"Selamat pagi, A'!"

"Pagi, Aruna."

"Ini sarapan dulu, Aruna yang membuatkan kopi untuk Aa' ...." Gadis ceria itu begitu bersemangat. Sembari menyodorkan segelas kopi pada Arudji.

Dahi Arudji mengeryit kala mendapati dua cangkir yang ada di meja. Sejak kapan Aruna juga minum kopi? Itulah pertanyaan yang justru melintas di kepalanya. "Aruna minum kopi juga?"

"Tidak, A' ... Aruna biasanya membuat dua cangkir kopi untuk Aa' dan Aa' Jo, tapi tadi teh Aruna lupa kalau Aa' Jo sudah pergi."

Intonasi nada sedih itu membuat Arudji ikut merasakannya pula, Aruna jelas sangat merasa kehilangan. Bagaimanapun juga, George adalah sosok yang selalu di sisi Aruna dibandingkan dirinya sendiri, selalu ada untuknya dan selalu menemani Aruna bermain juga belajar. Wajar saja jika Aruna begitu sedih atas perginya George.

Alih-alih memeluk sang adik, Arudji justru terpegun. Sesuatu seperti menggelitik hatinya kala mengingat waktu yang dihabiskan dirinya dengan George. Arudji tahu betul, George, pemuda itu pulang ke tempat asalnya. Namun, apakah dia akan kembali lagi ke Indonesia?

Paper Burn [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang