Bab 3

124 22 0
                                    

PAPER BURN
Something missed ... at Bandung Lautan Api.

---

Manik biru George belum juga dapat terlelap, padahal waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Arah pandangnya tertuju pada langit-langit ruangan yang tampak temaram. Entah apa yang ada dalam pikirkannya, namun George bukan satu-satunya yang tak dapat tertidur dengan nyenyak malam ini.

Di atas dipan yang cukup lebar ini, Dai Arudji juga masih berbaring sembari berkelana dalam pikirannya sendiri. Keduanya membisu dan membiarkan suara jangkrik melantunkan sebuah lagu yang merdu. Hingga salah satu dari keduanya membuka suara, memecah keterdiaman yang sempat melanda menyelimuti mereka.

"George, kau sudah tidur?"

"Belum ... kenapa?"

"Entahlah. Aku tidak tahu harus apa, tapi aku tidak bisa tidur, hatiku sama sekali tidak tenang."

"Kau memikirkan pekerjaanmu lagi? Istirahatlah, lupakan sejenak dan lepaskan bebanmu agar kau bisa terlelap."

"Bukan. Ini bukan masalah pekerjaan." Arudji memiringkan tubuhnya menghadap George yang masih telentang. "George, sekarang kau sudah berusia 17 tahun, apa kau ... belum pernah merasakan jatuh cinta?"

"Jatuh cinta, ya?"

George menyunggingkan seulas senyum tipis di salah satu sudut bibirnya. "Tentu saja pernah, tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Aku tidak tahu dia menyukaiku atau tidak? Lagi pula sepertinya apa yang aku rasakan ini sesuatu yang aneh dan tak mungkin mudah untuk diterima, tapi aku sangat mencintainya."

"Hei, berjuanglah. Jangan hanya diam saja, lakukan sesuatu. Dengar! Jadilah lelaki yang berani, termasuk berani menyatakan cinta. Jika kau tidak bergerak dan diam terus seperti ini, kau akan menyesal saat dia telah menjadi milik orang lain."

Dai Arudji berujar begitu bijak, seolah begitu ahli dalam urusan cinta. Padahal, dia sendiri belum pernah menjalin hubungan dengan wanita mana pun. Sejak remaja, dia sudah terjun dan mengabdi pada negara. Kesempatan untuk menjalin hubungan asmara pun seakan-akan hanya khayalan semata.

Dia lebih memilih membela negara dan memberikan rasa aman kepada masyarakat Bandung. Dengan pangkatnya sebagai prajurit, itu memang sudah tugasnya. Dai Arudji bahkan rela tak melirik gadis-gadis di sekelilingnya karena dalam prinsip yang tertanam di otaknya adalah jika jodoh nanti juga dapat berkeluarga dan menjadi pasangan yang bahagia.

Prinsip kuno, yang bahkan dapat dikatakan pasrah. Lagi pula mana mungkin jodoh datang sendiri kalau tidak dicari, apalagi dia seorang bujang.

"Akan aku ungkapkan nanti."

George memiringkan tubuhnya, keduanya kini saling berhadapan. Namun, Arudji telah memejamkan mata. George tidak tahu lelaki di depannya ini sudah tertidur atau belum, perlahan dia mengangkat tangannya, merapikan anak rambut Dai Arudji yang menjuntai menutupi dahi. Melihat tak ada respon sama sekali dari Arudji, George memberanikan diri menapakkan tangannya di punggung Arudji. Mengusap lembut, tanpa sadar sudut bibirnya terangkat. Samar-samar menghasilkan senyuman ringan yang menghiasi wajahnya.

***

Ketika kelopak mata George perlahan terbuka, kesunyian menyambutnya. Maniknya mengedar sebelum terfokus pada jam yang menempel di dinding kamar.

"Selamat pagi, Aa'."

"Selamat pagi," George membalas sapaan Aruna sembari menolehkan kepalanya ke sana kemari, mencari sosok yang tak dilihatnya sejak dia bangun tadi.

"Aa' teh cari apa?"

"Arudji ...."

"Ah, Aa' Aji teh sudah berangkat dari pagi."

Paper Burn [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang