-Gibran'04

3.4K 306 39
                                    

Klik bintang dulu, yuk!

Sesampainya di rumah, Gibran langsung membersihkan diri, tidak lupa menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sesampainya di rumah, Gibran langsung membersihkan diri, tidak lupa menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim. Pemuda itu baru keluar kamar setelah wanita kesayangannya berseru menyuruh makan.

Dengan masih mengenakan kain sarung dan atasan kaos abu-abu, Gibran menghampiri sang Bunda yang tampak sedang sibuk menata makanan di meja. Membantu menata piring, lalu memangku adik kecilnya yang sedang anteng memakan kerupuk.

Giana Anesa langsung menyembunyikan wajahnya di kaos Gibran. Bocah berumur tiga tahun tersebut amat menyukai aroma parfume khas yang menguar dari tubuh sang Kakak.

"Ayah belum pulang ya, Bun?" tanya Gibran ketika menyadari ketidak hadiran sang Ayah di antara mereka.

"Udah. Masih di kamar mungkin." tidak lama setelah Bunda Dita berkata demikian, laki-laki gagah yang amat Gibran hormati berjalan menuju ruang makan dengan setelah tak beda jauh dari dirinya.

"Ngapain kamu nyengir-nyengir?" tanya Ayah Gading tat kala kedatangannya disambut cengiran lebar Gibran.

"Apa sih, Yah? Orang nyengir aja gak boleh," cibir Gibran. Ia ikut-ikutan memakan kerupuk bersama Giana.

"Gimana sama geng kamu itu? Aman-aman aja 'kan?" menjabat sebagai wakil ketua di sebuah geng tidak pernah Gibran sembunyikan dari orangtuanya. Sekalipun sang Ayah adalah seorang kepala kepolisian, namun Gibran tak pernah segan untuk bercerita. Lagi pula, Ayah Gading sama sekali tidak melarangnya, malah menawarkan diri untuk ikut mengawasi geng tersebut. Walau begitu, kalau ada anggota yang melakukan pelanggaran lalu lintas atau semacamnya, Ayah Gading tak pernah membela. Melainkan memberi pelajaran dengan cara yang berbeda. Entahlah, Gibran selalu kaget dengan pembelajaran yang ada di pikiran sang Ayah.

Terakhir ada salah satu anggota yang melanggar rambu lalu lintas, diberi hukuman membersihkan sampah di tepi jalan sepanjang 100 meter. Bagi Gading, selagi anggota geng tersebut tak memberontak, ia tak akan memberikan hukuman penjara, sita kendaraan, atau sejenisnya. Cukup diberi hukuman yang bermanfaat dengan surat tilang yang tetap diterima si pelanggar.

"Aman kok, Yah," jawab Gibran seadanya.

Ayah Gading mengangguk-anggukkan kepalanya sambil lalu menerima piring berisikan nasi putih dari sang istri.

"Gib, Bunda nemuin ini di seragam kamu." Gibran menatap benda kecil yang baru saja disodorkan Bunda-nya. "Punya siapa? Pacar kamu?" lanjut wanita itu.

Gibran memperhatikan dengan seksama anting yang kini sudah berpindah ke tangannya. Aksesories telinga tersebut nampaknya patah jadi terlepas. Dan Gibran benar-benar tidak tahu bagaimana benda ini bisa ada di seragamnya.

"Kalau nyangkut di seragam berarti nempel-nempel tuh," saut Ayah dengan senyuman jahil yang sukses membuat putra sulungnya mendengkus.

"Gak tahu punya siapa, Bun." malas memikirkannya, Gibran menaruh kembali benda tersebut ke atas meja. Beralih menyusul sang Ayah yang sudah makan lebih dulu. Sedangkan Giana sudah ia dudukkan kembali di kursi semulanya duduk tadi.

GIBRAN✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang