Part 11.1

6.4K 360 81
                                    

Sambil di play yaa musicnya.. Thank youu

ᕕ( ՞ ᗜ ՞ )ᕗ

Icha POV
Ada ribuan cara untuk menyelesaikan masalah kami. Ribuan cara dan aku akan selalu bersedia membantu. Tapi dari segala hal yang pernah ku korbankan, jelas bukan darah dagingku sendiri yang akan ku korbankan. Bodoh banget sih cha!
"Aku narik omongan aku da. Aku gak bisa ngorbanin darah daging aku. Karna kalau sampai ada dia di tengah tengah kita." Sejenak aku diam karna ragu untuk mengatakanya.
"Mungkin aku gak bisa ngelepasin kamu da. Mungkin aku akan memaksa kamu untuk tinggal di sampingku. Entah dengan cara apapun. Dan semua hal itu hanya karna satu alasan, anak aku. Maaf. Tapi kita harus cari cara lain. Aku gak bisa ngorbanin dia." Aku tahu kalau bagaimanapun aku manusia. Yang pasti ada kalanya egois. Dan aku paham hatiku. Anak aku pasti segalanya buat aku.
"Gimana bisa kamu mikir aku bakal ninggalan kamu sendiri sama anak kita nanti !?" Daffa jelas sudah mulai menunjukan emosinya. Tapi jelas bukan dia di sini yang di korbankan tapi aku sama perasaan aku.
"Siapa yang jamin ?! Siapa yang jamin hati orang ? Aku juga gak mau hidup dengan orang yang memiliki hati separuh da! Jadi ayo kita cari cara lain." Ku harap Daffa paham kalau saat ini semua gak bisa di putuskan secara gegabah.
"Aku tetap pada keputusanku. Aku mau kamu jadi ibu dari anak aku. Kamu jadi istri aku seumur hidup aku." Sunggu sifat keras kepala yang sama dengan yang dulu aku puja. Makan tuuh cha !! Suka kan loe sama sifat keras kepala Daffa dulu.
"Aku bisa hidup tanpa wanita lain tapi dari dulu aku gak bisa tanpa kamu di samping aku. Hidup berdua sama kamu. Bukan masalah besar cha. Kita sudah bersama bertahun tahun. Dan aku yakin rasa sayang aku ke kamu bisa untuk dasar kita berumah tangga."
Perasaan ini kacau sekali rasanya. Munafik sekali kalau aku mengatakan aku tidak merasa sedikit bahagia. Tapi bodoh rasanya kalau aku menelan mentah mentah semua rasa bahagia sementara aku sadar. Apa posisiku.

Fa... Kalau rasa sayangmu cukup untuk rumah tangga kita. Mungkinkan seutuhnya rasa cintaku benar benar bisa membuat rumah tangga ini ada ?
Boleh gak sesekali aku menutup mata sama perasaanmu fa. Sekali ini saja. Boleh gak aku mencoba egois? Maafkan aku yang menelan bulat bulat semua kata katamu.
"Pikirkan ini dengan matang fa. Satu bulan aku mau kita pisah rumah dan gak saling ketemu. Kamu sholat istikharah aku pun sama. Kita bawa Tuhan di pengambilan keputusan ini. Sementara aku akan tidur di aparment aku sambil ngurus Naranja. Aku gak ke kantor 1 bulan."
"Kenapa mesti pisah rumah sih ?"
"Jarak dan doa yang bisa membuat kita tahu apa yang harusnya kita lakukan. Kalo kamu serius dan bukan hanya emosi sesaat. Satu bulan itu gak akan buat kamu berubah pikiran."
"Chaaa... aku tiap hari ketemu Dinda malah nanti tiap hari gak ketemu kamu."
"Apa masalahnya ?"
"Cha..."
"Hei.. aku mau kamu liat Dinda tiap hari. Aku mau kamu bener bener gak menolak apa yang ada di hati kamu. Kalo kamu memang jodoh aku. Kalo kamu emang serius sama aku. Kalau kita memang berjodoh. Allah akan buat hatimu tetap di pendirianmu saat ini." Aku menatapnya dalam meyakinkan kalo mungkin ini cara terbaik untuk mengambil keputusan. Toh aku tidak mau memiliki suami yang tidak yakin dengan hatinya sendiri.
"Daffa.. kalo kamu gak yakin dan nanti pada akhirnya memilih Dinda gak papa. Setidaknya kita tidak gegabah menghadirkan seorang anak di antara kita. Setidaknya kamu tahu apa yang sebenernya kamu mau. Aku takut fa.." ucapku lirih seperti anak kucing yang takut memasuki naungan barunya. Menunduk menatap dua pasang sepatu yang saling berhadapan. Sedikit mengingat betapa gilanya aku dulu yang selalu melihat arah sepatu Daffa setiap kita berkumpul dengan teman teman. Dulu konyolnya sempat aku sedikit mempercayai ucapan seseorang yang bilang kalo Kita akan tahu seseorang tertarik dengan kita terlihat dari posisi duduknya. Dia akan cenderung mengarah ke arah kita kalo dia memang tertarik dan menyimpan perasaan. Walaupun di sembunyikan dari arh badan atau mata atau tangan tapi setidaknya arah kakinya pasti ke arah kita walaupun kita mengobrol terpisah jarah lumayan jauh. Dan saat itu arh sepatu Daffa memang selalu mengarah ke arahku. Konyolnya berkali kali aku melihat itu, aku selalu memiliki pemikiran mungkin hatiku bukan hanya sepihak. Mungkin Daffa juga tertarik sama aku. Padahal berkali kali juga Daffa seolah menepis semua prasangka itu dengan jatuh cinta atau memacari wanita lain. Stupid kan? Dan kali ini aku gak mau berprasangka untuk akhirnya sakit hati.
"Buktikan sama aku da. Sebagaimanapun kamu ngeliat aku. Aku tetep perempuan yang gak cuma butuh kata kata tapi juga sikap. Aku takut kamu hanya nyaman dan terbiasa ada aku di hari hari kamu. Aku takut kamu menyesal setelah ada anak di antara kita. Aku takut aku harus memaksa kamu di sampingku nantinya." Sejenak ku tahan segala emosi dalam diam sampai lirih ku sampaikan.
"Aku tetap perempuan da. Yang memiliki hak untuk di perjuangkan hatinya oleh laki laki. Yang setidaknya punya keinginan untuk di perlakukan semanis layaknya perempuan yang di cintai sepenuh hati oleh lelakinya. Perempuan yang pantas di yakinkan hatinya untuk menitipkan hati dan menyandarkan hidup."
Dari dulu aku mungkin memang sudah jatuh cinta sama kamu. Tapi soal menitipkan hati. Aku tidak pernah benar benar mampu bersandar di dermagamu da. Lanjutku dalam hati.
"Oke. Aku buktikan sama kamu kalo aku gak pernah main main. Aku buktikan sama kamu kalo aku pantas jadi imam kamu cha. Nanti malem kita tidur di rumah mama. Besoknya aku anter kamu ke apartment. Kamu makan. Pembicaraan kita selesai." Dafa mulai memakan pesanannya tanpa sedikitpun bersuara lagi. Daffa... Daffa.. aku tahu gimana separuh hatinya kamu sama keputusanmu ini tanpa perlu bertanya terlalu jauh. Tuhan jangan buat hatiku jatuh terlalu dalam. Jatuhkan lah saja hatiku nanti hanya pada ia jodohku dan yang juga mencintaiku.

My Friend Is My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang