1-RENCANA

34 5 1
                                    

“Bu, Jingga berangkat dulu ya”
Aku memeriksa kembali barang-barang yang akan aku bawa kembali ke Pondok Pesantren Daarud Dzikri. Iya kembali, untuk menempuh perjalanan di tahun ke-tujuh masa belajarku disana. Kali ini tugasku bukan hanya belajar, tapi juga mengabdi. Istilah arabnya “khidmah”.
“Yakin tidak menunggu Bapak pulang dulu?”
“Nanti keburu magrib, Bu. Lagipula aku tadi sudah berpamitan pada Bapak”
“Tidak ada yang tertinggal kan?”
Ibu selalu begitu sejak pertama kali aku masuk pesantren, mengkhawatirkan segala sesuatu. Sebenarnya Bapak juga begitu. Tapi Bapak diam saja, lebih percaya bahwa aku bisa mengurusi urusanku sendiri. Katanya, sebagai anak perempuan pertama dari tiga bersaudara, aku harus mandiri. Yaa setidaknya sampai ada seseorang yang bersedia kusandari dan kupercaya selain bapakku.
“Tidak Bu, sudah semua. Disana juga ada toko, bisa beli kalau ada yang kurang”
Ibu mengulurkan tanganya untuk kujabat. Kucium penuh hormat takzim.
“Baik-baik disana, Mbak. Jangan lupa bilang ke Ibu kalau ada apa-apa”
Sore itu aku kembali ke pesantren dengan mengendarai motor matic yang dibeli Bapak enam tahun lalu. Dulu, rencananya motor ini yang akan aku pakai berangkat sekolah. Ternyata rencana itu harus tertunda enam tahun hingga aku diperbolehkan mengendarai motor ke pesantren. Karena di tahun yang sama aku lolos seleksi di madrasah tsanawiyah terbaik di kotaku. Madrasah tsanawiyah adalah sekolah berbasis agama sederajat sekolah menengah pertama. Kebetulan, madrasah itu berjarak cukup jauh dari rumahku, dan di komplek madrasah tersebut terdapat beberapa pesantren yang salah satunya adalah pondok pesantren daarud dzikri. Pesantren dengan metode pembelajaran salafi, dan menggunakan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar sehari-harinya. Umurku saat itu masih tiga belas tahun, kurasa menggunakan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris sehari-hari begitu keren. Pun dari luar, bangunan pesantren ini terlihat mewah. Akan begitu bergengsi ketika aku menjadi bagian dari mereka. Dengan dalih itu, aku memilih pesantren ini. Sesederhana itu alasanku mau menjadi santri di Daarud Dzikri.
Saat itu, kukira aku hanya akan bertahan di pesantren ini selama tiga tahun. Seusai madrasah tsanawiyah, maka akan usai pula masa ta’limku di pesantren. Tapi rencana Tuhan membawakanku tiga tahun berikutnya untuk tinggal di Daarud Dzikri. Bahkan setelah madrasah aliyah pun, aku masih di pesantren ini. Saat ini di tahun ketujuh. Semester pertamaku di bangku perkuliahan. Sebagai mahasantri di Ma’had Aly Pondok Pesantren Daarud Dzikri.
Bismillahirrahmaanirrahiim. Baiklah, mari jalani ini satu langkah-demi satu langkah. Aku sudah mengusaikan masa madrasah tsanawiyah pada tiga tahun pertama di Daarud Dzikri. Lalu merampungkan tiga tahun setelahnya dibangku madrasah aliyah juga masih di Daarud Dzikri. Jadi empat tahun lagi di Daarud Dzikri, sepertinya tidak seburuk apa yang kutakutkan. Mari buat rencana baru untuk empat tahun ke depan.

Tahun Ke-7Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang