3-Si Cantik Lyra

20 2 0
                                    

Hari beranjak larut saat aku menghadiri sosialisasi peraturan bagi mahasantri. Acara mahasantri Daarud Dzikri memang selalu dilakukan di malam hari. Mengalah dengan santri madrasah yang jumlahnya lebih banyak, dan memiliki jadwal lebih padat. Selain itu, acara mahasantri seringkali berlangsung secara tidak formal. Berkonsep diskusi dengan kopi dan makanan ringan, sehingga semakin larut malam semakin dalam pula pembahasaan yang dibicarakan.
Aku berjalan bersisian dengan Lyra. Dia cantik. Wajahnya kenes, dengan pemilihan pakaian yang sesuai, dan make up sederhana. Orang lain yang melihat Lyra pasti berhenti sejenak untuk melihatnya berlalu. Dia juga ramah, khas perangai orang-orang di daerah asalnya, Solo. Di awal perkenalan dia memang terlihat acuh, tapi ternyata dia orang yang menyenangkan ketika sudah mengenakinya dengan baik.
Setelah menilai Lyra secara kasat mata, aku menilik penampilanku sendiri. Aku tidak cantik, tidak suka berdandan, tidak bisa memadu-padankan pakaian, dan orang yang kaku. Aku menyadari itu semua. Tapi aku baik-baik saja hingga kini. Aku masih bisa hidup dengan baik.
“Jingga, berapa temanmu yang melanjutkan pendidikannya di Daarud Dzikri?” Suara Lyra memecah keheningan. Mengingatkatku akan satu hal yang sampai saat ini belum bisa aku terima.
“Ada tiga orang,”
“Mereka enggak mukim di Daarud Dzikri ya? Aku enggak pernah lihat,”
“Mereka di sini. Dhika di asrama Abu Bakar Asshidiq, Rey dan Alvin di asrama Umar Alfaruq,”
“Jadi kamu satu-satunya perempuan?” Aku tidak segera menjawab pertanyaan Lyra. Sungguh, di antara semua alasanku menolak melanjutkan pendidikan di Daarud Dzikri, alasan tidak ada perempuan dari angkatanku yang melanjutkan di sini adalah alasan paling dominan.
“Sekarang ada kamu, Ra. Aku enggak sendirian lagi,” Jawabanku lebih terdengar seperti aku meyakinkan diriku sendiri. Karena aku benar-benar khawatir akan tahun ke tujuh ini. Memang ini masih Daarud Dzikrir yang sama, namun kini yang harus kuhadapi adalah  orang-orang yang dulu kuhormati dengan gelar ustaz dan ustazah sebelum nama mereka. Kini aku menjadi bagian dari mereka. Tanpa seorang pun teman yang mendampingi, siapa yang akan mendengar keluh kesahku saat aku tak sanggup lagi sendirian?
Kami sampai di aula. Ruangan berkapasitas seratus orang itu terisi separuh.  Di bagian depan aula, Ustaz Ali sudah berbicara mengenai beberapa peraturan yang disesuaikan dengan kondisi terkini mahasantri. Saat aku dan Lyra ikut bergabung di barisan mahasantri putri, beberapa mata mahasantri putra menilik penuh rasa penasaran. Setelahnya terdengar bisik-bisik membicarakan Lyra.
“Belum apa-apa, kamu sudah terkenal saja,” Candaku. Lyra tersenyum, memandang ke tempat duduk para mahasantri putra.
Lyra tertawa. Mau tak mau aku ikut tertawa lirih. Dalam benakku terpikir betapa besr pengaruh orang cantik di mata masyarakat Indonesia, bahkan santri sekali pun. Cantik masih saja di nilai dari fisik. Standardisasinya dari media-media yang menggumamkan bahwa cantik berarti berkulit putih, bertubuh proporsional, dan memakai pakaian yang sejalan dengan mode terkini.
Aku dan Lyra bagaikan langit dan bumi. Setiap orang menatap Lyra dengan kagum, abai dengan aku yang berjalan di sisinya.
Sepanjang acara sosialisasi, aku banyak melamun. Teringat perkataan Ibu saat usiaku menginjak 19 tahun lalu. Tentang pentingnya wanita menjaga penampilannya, sikapnya, dan tutur katanya. Saat itu, aku tidak begitu memikirkan nasehat Ibu. Toh, penampilan bukan hal besar. Bagiku memperbaiki sikap dan tutur kata saja cukup. Karena wajahku tidak cantik, lebih baik aku mengunggulkan kemampuanku yang lain saja. Bukan pada penampilan fisik.
“Iya, Lyra memang cantik.” Lamunanku teralihkan pada suara bisik-bisik di belakangku. Lyra masih asik berbincang dengan Kak Diana, sepertinya todak mendengar bahwa dia sedang digunjingkan. “Tapi dia akan lebih cantik jika sedikit lebih kurus. Kurasa dia terlalu gendut.”
“Kudengar, dia termasuk santri nakal di pesantren sebelumnya.”
“Sepertinya begitu, siapa yang mau menjomblo dengan paras secantik dia?”
Aku jengah, lantas aku berbalik badan. Menatap tiga orang kakak tingkat yang sedang menggunjingkan Lyra dengan sinis. “Kak, ghibahnya enggak bisa ditunda ya? Ini Lyra ada di depan loh.”
“Haduh Jingga, jangan naïf. Pasti sebenarnya kamu berpikiran sama dengan kami, tapi karena kamu teman sekamarnya kamu hanya diam saja kan?” ucapan salah satu dari mereka membungkamku telak dengan kebenaran mutlak.

Tahun Ke-7Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang