"Jingga, pakai make up gih!"
"Pakai skincare dong, masa kamu udah jadi anak aku kuliahan tapi enggak pernah perawatan kulit."
"Coba deh, sekali-sekali uang kamu itu ditabung buat beli jilbab dan baju baru. Lihat koleksi bajumu Cuma itu-itu aja apa enggak bosan?"
"Enggak ada niatan belajar memperbaiki penampilan?"
Sudah sejak lama kudengar komentar-komentarseperti itu. Aku biasanya hanya diam, dan mengabaikan semuanya. Tetapi semakin ke sini, aku semakin risih mendengarnya. Puncaknya pagi ini aku membalas ucapan Kak Diana yang mengomentari penampilanku saat akan pergi ke kampus.
"Males kak. Urusi saja itu skincare dan make up kakak, enggak perlu ikut campur dan ngurusin make up ku." Lalu aku keluar kamar dan membanting pintu. Mengabaikan ocehan Kak Diana tentang penampilan.
Bertengkar di pagi hari ternyata mampu merusak mood-ku seharian. Marah-marah pada pejalan kaki yang berjalan beriringan, pada satu kesalahan kecil kelompok belajar di kampus, pada hal-hal yang seharusnya bisa dimaafkan saat itu juga tanpa harus menyulut emosi.
Sebenarnya, akau tahu bahwa aku sudah membutuhkan make up. Apalagi sebagai mahasiswi Fakultas Ekonomi Bisnis yang terkenal selalu berpenampilan paripurna, sempat terbersit tidak percaya diri untuk tetap berpenampilan apa adanya. Selain karena aku merasa terusik atas kritik Kak Diana, faktor ini juga membuatku semakin emosi. Seakan aku tidak pantas berada di posisiku saat ini hanya karena penampilan saja.
"Hari ini Jingga kenapa sih?"
"Dia kalau lagi kayak gini mendingan jangan ditanya deh, nyebelin."
"Biasanya waktu mata kuliah Manajemen, dia yang paling cerewet. Hari ini kayaknya memperhatikan Pak Alindra yang super tampan aja enggak sempat."
"Guys, objek rumpi kalian ada di sini loh." Aku mendengus kesal. Tapi berkumpul dengan teman-teman kuliahku pada jam makan siang seperti ini memang sedikit menghibur. Bersamaku saat ini ada empat mahasiwa, dan lima mahasiswi yang sejak awal semester sudah menjadi teman dekatku di kampus. Novan, Sandy, Danar, Cahyo, Putri, Nadila, Krisna, Herta dan Ressa, Sembilan orang ini tidak peduli dengan bagaimana aku menampilkan diriku, setidaknya mereka belum pernah menyinggung hal ini. Yang mereka pedulikan adalah bagaimana aku bersikap kepada mereka, mungkin.
"Ada masalah apa sih kamu? Cerita sini sama Om." Sandy memberiku pertanyaan bernada canda. Salah satu cara yang membuat pertemanan kami bersepuluh ini erat adalah keterbukaan satu sama lain. Selalu ada yang menyadari saat salah satu dari kami memiliki masalah, dan tidak saling memaksa untuk bercerita. Setiap orang perlu waktu untuk berani bercerita tentang masalahnya.
"Menurut kalian, apa aku salah kalau enggak pakai make up?"
"Make up itu pilihan Jingga, setiap orang berhak memilih untuk memakainya maupun tidak. Setiap orang juga memiliki alasan yang berbeda-beda untuk memakai make up. Bagian terpentingnya adalah apakah kamu bahagia atas dirimu jika memakai make up, atau tidak." Nadila menjawab pertanyaanku dengan bijak, lainnya hanya menyimak sambil menikmati makan siangnya. Jawaban Nadila membuatku berpikir ulang, apakah aku sudah bahagia sekarang?
"Memakai make up pun terkadang masih salah di mata orang lain." Ucapan Resa membuat kami semua tertawa. Memang netizen sepeduli itu pada urusan orang lain.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tahun Ke-7
ChickLitHalo, aku Jingga, santri putri di pondok pesantren Daarud Dzikri. Ini tahun ketujuh aku berada di pesantren. Tiga tahun pertama di tingkat Madrasah Tsanawiyah-setara SMP, tiga tahun setelahnya di tingkat Madrasah Aliyah-setara SMA, lalu sekarang di...