Chapter 6 : Hanya harap

3.8K 579 100
                                    

"Awang," panggil Ines sembari mengetuk pintu kamar putranya. Baru beberapa menit lalu anak itu pulang, dan Ines tidak sabar memberikan apa yang baru saja dibelinya.

"Masuk, Mi."

Begitu masuk, ia melihat putra tunggalnya tengah bertukar pakaian. Dewangga sempat menoleh, lantas melempar senyum. Namun, kelopak mata Ines refleks melebar melihat memar di beberapa bagian tubuh putranya. "Nak, ini kenapa? Kok bisa begini? Kamu berantem sama orang apa gimana?"

Dewangga berbalik menghadap cermin, dan tak kalah terkejut melihat hal itu. "Hm, enggak berantem kok, Mi. Kayaknya pegal aja habis olahraga. Biasa juga begini, 'kan?"

"Enggak begini lho, Nak. Ini berlebihan kalau cuma pegal habis olahraga. Awang ngerasa ada yang aneh enggak sama badannya? Masih pusing kayak kemarin?"

"Enggak kok, Mi. Semua baik-baik aja. Jangan khawatir."

"Alhamdulillah." Ines menghela napas lega. Pikirannya sudah ke mana-mana hanya karena melihat memar di tubuh Dewangga. Namun, ia bersyukur tidak ada gejala lain sebagai penyerta.

"Mami bawa apa itu?"

"Mami tadi beli buku latihan soal gitu, Sayang. Di sini lengkap sama pembahasannya. Awang bisa pelajari ini setelah selesai les. Saking excited-nya Awang mau lomba, Mami sampai enggak sadar beli sebanyak ini. Teman Mami juga, sih, yang kompor."

"Iya, Mi. Nanti Awang pelajari."

"Mami tahu ini berat, tapi bisa bantu Awang untuk sukses ke depannya. Pokoknya jangan menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Banyak di luar sana yang punya cita-cita setinggi langit, tapi kekurangan dalam segi fasilitas. Awang beruntung banget jadi anak Papi sama Mami. Semua difasilitasi. Apa yang Awang butuhkan langsung kami penuhi. Sedangkan mereka? Jangankan buat les, beli buku begini aja susah. Jadi, jangan kecewakan kami, ya, Nak."

"Insya Allah, Mi."

"Awang lapar enggak? Mau makan dulu?"

Pemuda itu menggeleng. "Pak Nabil udah datang, 'kan? Kasihan kalau harus nunggu. Bukunya Awang simpan, ya, Mi. Nanti malam pasti dipelajari."

Melihat maminya benar-benar bahagia, Dewangga turut tersenyum. Ia berharap Tuhan memudahkan jalannya untuk meraih apa yang sang mama mau.

"Oh iya, Nak. Nanti setelah les, ikut Mami, ya? Les Matematika kita undur aja agak malam."

Meskipun tidak tahu ke mana sang mami akan membawanya, Dewangga hanya mengangguk saja. Ia tak punya alasan untuk menolak.

"Mami turun duluan. Awang jangan lama, ya."

Dewangga mengangguk. Selepas kepergian sang mama, pemuda itu kembali menatap pantulan wajahnya, lalu tersenyum seolah tengah meyakinkan dirinya bahwa semua baik-baik saja.

***

"Bunda kan udah bilang sama kamu, jangan makan pedas. Itu kuping apa tempelan kulkas, sih? Makanya Bunda kasih bekal itu biar kamu enggak makan macam-macam, Nak. Bandel banget."

Daniel menghela napas. Sudah berulang kali bundanya menyuarakan kalimat yang sama. Andai tak ketahuan, kupingnya pasti selamat. Sayang, wajah lusuh, lepek, dan mengerikan khas orang langganan keluar masuk toilet membuat sang bunda curiga. Padahal, Daniel bukan tipe orang yang suka mengeluh saat sakit. Seharusnya semua aman jika saja diarenya tidak parah.

"Perutnya kembung begini pasti enggak enak. Kita ke dokter, ya? Udah pucat banget kamu, Nak. Bekal kamu ke mana? Kok tadi kamu malah makan mi ayam pedas?"

"Bekalnya lompat pas mau aku makan, Bun. Enggak mungkin aku ambil lagi. Kan udah kotor."

"Enggak gitu juga. Bunda heran kok bisa-bisanya kamu makan makanan pedas. Padahal, di kantin banyak makanan lain. Pokoknya kalau kamu enggak baikan kita langsung ke dokter. Bunda enggak mau ambil risiko. Kamu itu jarang sakit lho, Nak. Sekalinya sakit suka langsung payah begini. Jadi, nurut apa kata Bunda."

Dewangga [JJK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang