Chapter 14 : Kecewa

4.8K 626 63
                                    

"Mi, kalaupun Mami merasa menyesal karena enggak bisa jadi apa yang Mami mau dulu, jangan melampiaskan semuanya sama Awang. Kan Papi yang bawa Mami pergi, jadi salahkan Papi. Jangan jadikan Awang korban. Cuma karena Papi mengistirahatkan semua guru les Awang, Mami marah enggak kelar-kelar."

Ines berbalik. "Korban Papi bilang? Membentuk anak kita menjadi orang sukses Papi bilang mengorbankan? Dan Mami enggak marah karena itu, ya, tolong dicatat. Buang pikiran buruk Papi."

"Tugas orang tua itu mengarahkan, bukan membentuk. Kata membentuk terkesan memaksakan, sementara mengarahkan cenderung dengan besar hati menerima ke mana pun anak kita melangkah selama itu baik. Awang juga enggak pernah macam-macam kok selama ini. Apa definisi sukses menurut Mami itu cuma ada dalam diri seorang dokter? Enggak, Mi. Semua orang bisa sukses dengan cara masing-masing."

Dewangga yang sudah berseragam lengkap hanya menghela napas begitu mendengar perdebatan orang tuanya. Ini masih terlalu pagi. Apa salah jika ia menginginkan ketenangan?

"Papi tuh enggak ngerti!"

"Iya. Papi emang enggak ngerti sama jalan pikiran Mami. Mami tahu banget anak kita sakit, dan bukan sakit main-main. Tapi, kenapa Mami terus memaksakan dia melakukan sesuatu yang membuat dia semakin sakit? Ada kanker di tubuhnya dan Mami juga dengar sendiri bagaimana kanker itu mengganas, menyebar sampai ke organ lain. Apa enggak bisa kita fokus membahagiakan Awang aja, Mi? Kita enggak tahu dia bisa hidup berapa lama."

Sontak Ines melotot. Perempuan itu refleks memukul dan mendorong tubuh suaminya. "Maksud Papi apa? Papi mau Awang enggak berumur panjang? Omongan tuh dijaga! Awang enggak akan ke mana pun!"

"Papi bukan mendoakan, Mi. Papi cuma takut kalau Tuhan akhirnya memutuskan sesuatu yang enggak kita duga. Bukannya kita juga yang akan menyesal kalau sampai itu terjadi dan kita belum bisa membahagiakan Awang?"

Sang mami memang tak terdengar membantah, tetapi isaknya justru membuat hati Dewangga terasa lebih sakit dari sebelumnya.

"Kalau dulu Mami jadi dokter, Mami enggak akan diam aja lihat Awang kesakitan, Pi. Kalau dulu Mami jadi dokter, Mami bisa ikut mengupayakan kesembuhan Awang."

"Mi, tugas kita sekarang cuma mendampingi Awang."

Pemuda berwajah pucat itu menggigit bibir bawahnya. Tak menyangka jika sakit dalam tubuhnya mampu menularkan rasa putus asa yang sama pada orang-orang di sekelilingnya.

"Awang."

Dewangga tersentak kaget, tetapi berusaha mengontrol ekspresinya. "Pagi, Pi."

"Pagi. Kok kamu udah rapi, Nak? Udah kuat sekolah emang?"

Dengan cepat Dewangga mengangguk.

Damian langsung menghampiri putranya, kemudian menggiring anak itu ke ruang makan.

Ines yang sedikit terkejut melihat kehadiran putranya, memaksakan seulas senyum, kemudian menghampiri Dewangga sembari berkata, "Pagi, Sayang." Dihadiahkannya sebuah kecupan di pelipis pemuda itu.

"Pagi, Mi," sahut Dewangga. Ia bisa melihat dengan jelas mata sembap maminya, tetapi anak itu memilih diam tak membahas.

Di atas meja sudah terhidang macam-macam makanan. Namun, tak tampak seperti biasa. Kebanyakan justru berupa rebusan. Bahkan, saat Dewangga mulai menyantap makanannya, hanya hambar yang berhasil dicecap lidah.

Dewangga mengangkat pandangannya, melihat bagaimana orang tuanya makan. Meski tampak menikmati, Dewangga tahu kalau makanan ini tak cocok di lidah kedua orang tuanya, mengingat bagaimana selama ini mereka makan.

"Mi, besok-besok masak kayak biasa aja. Nanti kalau buat aku minta dimasakin bubur sama Bibi. Enggak perlu begini, Mi. Yang sakit aku. Enggak semua harus ngerasain enggak enaknya."

Dewangga [JJK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang