Chapter 9 : Tidak baik-baik saja

4.6K 681 82
                                    

"Awang marahan sama Mami?"

"Aku yang salah, Pi."

"Kamu bikin salah apa?"

Pemuda itu menghela napas sebelum tangannya terangkat menunjuk sebuah buku di atas meja belajar. "Mami salah paham. Padahal, isinya enggak kayak yang Mami pikir. Buku itu cuma berisi penyangkalan robot manusia. Dia merasa bukan robot saking udah nyamannya sama manusia di sekitar dia. Enggak masuk akal, ya, Pi? Orang itu aku bikin udah lama. Belum tahu riset dan lain sebagainya."

Damian duduk di tepian tempat tidur, lalu mengusap kepala putranya. "Emang Mami mikir apa?"

"Mami bilang buku itu bentuk protes aku karena merasa diperlakukan seperti robot. Padahal, enggak gitu. Kadang emang capek, tapi aku tahu semua orang tua mau yang terbaik buat anak-anaknya. Aku aja yang selalu ngecewain Papi sama Mami."

Pernyataan Dewangga membuat Damian merasa tertohok. "Berarti Mami enggak baca isinya?"

"Enggak, Pi."

"Ya udah, biar nanti Papi yang jelasin." Melihat putranya tak menanggapi, Damian kembali bersuara, "Awang marahan juga sama Daniel dan Hyena?"

Anak itu menggeleng. Enggan memperpanjang pembicaraan ihwal sahabatnya, Dewangga memilih merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. "Pi, aku tidur sebentar, ya. Nanti kalau guru lesnya udah datang boleh minta tolong bangunin enggak? Eh, enggak usah, deh. Aku pakai alarm aja."

Sekali lagi Damian mengusap puncak kepala putranya. "Nanti Papi bangunin. Kamu tidur aja," sahutnya.

Lelaki itu tak langsung beranjak kendati putranya mulai memejamkan mata. Dari dekat, entah mengapa Damian merasa tubuh Dewangga tampak begitu kurus. Wajahnya pun seolah kehilangan rona. Apakah selama ini cara Damian mendidik Dewangga salah? Damian hanya takut Dewangga seperti saat masih berseragam putih merah dulu, mendapat perlakuan tidak menyenangkan karena bobot tubuhnya di atas rata-rata.

Setelah puas memandangi putranya, Damian melangkah meninggalkan kamar Dewangga.

"Mi."

Ines yang semula sibuk memainkan ponsel, sontak menoleh. "Kenapa, Pi?"

"Awang sakit. Badannya panas. Telepon guru lesnya dulu aja hari ini Awang libur."

"Awang itu cuma lagi merajuk biar Mami lemah dan mau maafin kesalahannya. Mami enggak mau cepat-cepat maafin Awang. Mami dongkol banget sama dia. Kalau ada yang enggak dia suka, harusnya bilang langsung. Ini malah ditahan-tahan, dijadiin buku lagi. Apa coba maksudnya? Awang mau bikin Mami malu?"

Damian masih berusaha keras menekan emosinya. "Mami udah baca isinya?"

"Belum. Tapi, dari judulnya aja kan udah jelas."

"Gimana Mami bisa menyimpulkan kalau baca aja tuh enggak? Isinya enggak seburuk yang Mami pikir. Awang sama sekali enggak ada niatan mempermalukan kita. Awang malah merasa bersalah karena terus beranggapan kalau dia selalu bikin kita kecewa. Kenyataannya kita yang selalu bikin dia kecewa karena terlalu banyak menuntut."

Ines langsung diam.

"Mulai sekarang, berhenti menekan Awang. Biarkan dia melakukan apa yang dia mau. Dia enggak akan berhenti kalau Mami enggak minta dia berhenti. Mami sadar enggak sekarang Awang jauh lebih kurus? Belakangan ini juga dia lebih sering sakit. Mami enggak kasihan sama anaknya?"

"Pi, yang bikin Awang kurus itu Papi. Papi selalu bilang Awang gendut. Kok jadi Mami yang disalahin? Mami tuh selalu berusaha kasih semua yang Awang mau. Justru Papi yang ngelarang Awang makan ini itu."

"Mami ngerti enggak, sih? Bukan itu poinnya. Di sini kita sama-sama salah. Papi salah, Mami juga salah karena kita sama-sama memaksa Awang melakukan apa yang kita mau sampai Awang enggak punya kesempatan untuk melakukan apa yang dia inginkan."

Dewangga [JJK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang