"Peringkat kedua, Dewangga Owen Aswandika."
Dengan senyum yang sedikit dipaksakan anak itu maju, kemudian mengulurkan tangan menerima rapor dari sang wali kelas. "Terima kasih, Bu," singkatnya.
"Lebih semangat lagi belajarnya, ya, Nak."
Dewangga hanya mengangguk. Ini baru semester pertama, ia akan belajar lebih keras lagi semester dua nanti. Lagi pula, selisih nilainya dengan si peringkat pertama tidak terlalu jauh. Hanya nol koma sekian. Dewangga berharap bisa mengejarnya. Namun, begitu sepasang netranya beradu dengan iris sang mama, refleks Dewangga menunduk. Ia tahu, itu bukan pertanda baik.
Usai pembagian rapor, pertemuan dibubarkan. Para orang tua berikut anaknya melangkah beriringan ke luar kelas. Meskipun baru saling mengenal hari itu, mungkin ada juga yang sudah bertemu sebelumnya, tetapi lupa, mereka tetap berusaha saling sapa satu sama lain.
"Bu Ines, selamat. Anaknya pintar sekali. Baru semester pertama udah bisa langsung masuk tiga besar."
Perempuan cantik itu tersenyum, lalu membalas, "Ibu bisa aja. Terima kasih, Bu. Kebetulan Awang ini berprestasi sejak duduk di taman kanak-kanak. Peringkat satu terus biasanya. Jadi, sekarang dapat peringkat lagi itu bukan prestasi luar biasa, apalagi cuma peringkat dua. Insya Allah nanti saya ikutkan les anaknya biar bisa mengejar ketertinggalannya."
"Jangan terlalu keras sama anak, Bu. Kasih ruang buat bergerak. Apalagi masuk masa SMA, anak itu senang main dan bergaul sama teman-temannya. Daniel juga belajarnya normal-normal aja kok. Saya enggak pernah memaksakan kehendak. Yang penting dia nyaman, tetep berprestasi, dan bisa meraih impiannya suatu hari nanti."
Ines yang sedari tadi bersusah payah meredam amarahnya, mencibir dalam hati. Namun, tetap berusaha keras mengontrol ekspresi. "Bu Fara bilang begitu karena takut Daniel ada saingannya, ya?" tanyanya diselingi kekehan pelan. "Saya sama papanya Awang enggak pernah memaksa Awang melakukan ini itu. Malah Awang sendiri yang mau lho, Bu. Maklum, dari kecil Awang itu kompetitif sekali anaknya."
Sementara ibunya saling bicara, Dewangga dan Daniel justru sama-sama bungkam, kendati sesekali melirik satu sama lain. Mereka berteman baik sebenarnya. Bahkan, hanya Daniel dan Hyena yang benar-benar tulus berteman dengan dewangga sejak masa orientasi. Namun, entah perasaan Daniel saja atau memang Dewangga tampak tengah berpikir untuk merentangkan jarak di antara mereka hanya karena Daniel berhasil menjadi yang pertama. Buktinya, sedari tadi pemuda itu sama sekali tak mengajak Daniel bicara.
Faranisa mengulurkan tangan, kemudian mengusap puncak kepala Dewangga. "Kamu udah hebat, Nak. Jangan terlalu keras sama diri sendiri. Pilih metode belajar yang menyenangkan supaya kamu enggak stres."
Dewangga hanya mengangguk tanpa mengucap sepatah kata pun.
"Saya sama Awang permisi dulu, ya, ibu-ibu. Suami udah jemput di depan soalnya. Kami berencana makan sama-sama hari ini."
Ines langsung menarik tangan putranya, menjauh dari para orang tua yang juga mulai membubarkan diri. Sembari berjalan, bibir perempuan itu terus meracau. "Mami udah bilang sama Awang, tambah lagi lesnya. Awang juga Mami lihat-lihat sering banget main belakangan ini. Lihat, turun kan nilainya? Seumur hidup Mami enggak pernah lho, Nak, ada di bawah orang lain. Rendah banget itu. Bikin malu."
Hanya kata maaf yang mengudara. Dewangga sedang benar-benar lelah, enggan menanggapi celoteh maminya.
Mobil mewah sudah terparkir di depan gerbang utama SMA Chrystallus. Di dalam sana ada seorang pria yang menyambut kedatangan istri dan sang putra mahkota, Damian namanya.
"Halo, gimana hasilnya, Nak? Papi telat enggak?"
"Lumayan. Enggak, Pi."
"Kita mau ke mana, Tuan?" tanya sang sopir.
"Restoran Atlanta, ya, Pak," sahut Damian.
"Masa Awang peringkat dua, Pi. Bikin malu banget enggak, sih? Mami aja selama sekolah enggak pernah, tuh, ada di posisi itu. Mami udah bilang padahal supaya Awang bisa belajar lebih keras. Dasar aja anaknya enggak bisa dikasih tahu." Begitu mendapat posisi paling nyaman, Ines langsung berceloteh.
"Biarin aja, Mi. Baru semester pertama. Nanti juga bisa unggul lagi. Atau kasih wali kelas sama kepala sekolahnya mobil, biar posisi Awang stabil terus."
Ines memutar bola matanya malas. "Harga diri dong, Pi. Masa mau peringkat satu harus nyuap kepala sekolah sama wali kelasnya dulu? Itu otak gunanya buat apa? Pajangan?"
"Ya udah, jangan diperpanjang." Damian sudah tak heran sebenarnya dengan kebiasaan sang istri. Jadi, ia mengalah. Malas juga berdebat hanya karena masalah tidak penting. Tangan kukuh pria itu bergerak mengusap puncak kepala putranya, sembari menatap Dewangga lamat-lamat, sampai kemudian ia menemukan sesuatu. "Wang, perasaan Papi aja atau kamu gendutan sekarang? Kamu masih suka ngemil tengah malam? Papi kan udah bilang, kurangi pelan-pelan." Kemudian Damian mengarahkan tangannya pada perut juga lengan putranya bergantian. "Malu dong, Nak. Badan anak cowok kok lembek banget? Papa sampai sekarang masih bugar, otot kekar, masa kamu yang masih muda badannya lembek."
"Nah, baru sadar kan anaknya susah dibilangin?" Ines mencibir. Pandangannya kini teralih pada Dewangga yang sedari tadi benar-benar bungkam. "Kamu harus bisa menyesuaikan diri, Nak. Punya orang tua yang sempurna harusnya bisa membentuk kamu menjadi anak yang sempurna juga, bahkan lebih dari sempurna kalau bisa. Banyak berkaca dari orang tua kamu."
Anak itu masih diam.
"Dengar Mami enggak, Sayang?"
"Dengar, Mi."
"Setelah makan nanti, kita langsung olahraga. Papi enggak mau badan kamu jelek karena terlalu banyak makan."
"Iya, Pi."
"Nah, gitu dong. Ini baru anak Mami sama Papi."
Keduanya kompak memeluk Dewangga yang memang duduk di tengah-tengah mereka. Harusnya Dewangga merasa hangat, bukan? Namun, entah mengapa pelukan kedua orang tuanya malah serupa penjara dengan aliran listrik pada setiap lempeng jeruji yang siap menyengat kapan saja.
Dewangga lelah. Apakah mereka tidak bisa menjadi sempurna untuk diri mereka saja? Tak perlu memaksanya menjadi sempurna juga. Dewangga bahkan tak pernah tahu sempurna menurut mereka itu seperti apa, sebab sejauh ini, ia tak pernah bisa memenuhi tuntutan itu. Ada saja cela yang kemudian menjatuhkannya ke dasar.
Apa Dewangga tidak bisa mendapat hidup yang lebih buruk lagi dari ini?
|Bersambung|
Halo, aku udah pernah bilang sebelumnya kalau Dewangga bakal aku unpublish dulu. Kalau ditanya kenapa? Biar kalian ga lupa alur, biar kalian ga bingung sama perubahan-perubahan yang aku hapus. Aku bakal berusaha keras buat bikin cerita ini lebih baik karena waw ternyata udah 4 tahun dan ga selesai-selesai. Kalau kayak gitu biasanya ada holes yang gak bisa aku perbaiki sama sekali, tapi terlanjur aku posting. Makanya aku betulkan mulai hari ini.
Kalian keberatan ga baca lagi? Insya Allah aku bakal selesaikan dalam waktu sesingkat mungkin. Doain moodku bagus terus ya. Maaf gamau bawa penyakit tapi aku rasa kalian perlu tau kalau sewaktu-waktu moodku anjlok dan aku ngilang. Aku penyintas (?) BPD dan Bipolar yang sampai detik ini masih dalam pengobatan. Kalau liat Ig atau wa-ku mungkin tau, yang gatau mangga cari tau sendiri. Intinya moodku bisa di atas banget bisa juga sebaliknya sampai di titik aku pengen "pulang" tapiiiii aku bakal berusahaaaaa buat tetep nulis selama manik biar ga tidurku, biar kreatifku, ada gunanya. Semangat juga buat kalian semua. Byeeee
KAMU SEDANG MEMBACA
Dewangga [JJK]
Novela JuvenilDewangga Owen Aswandika adalah putra tunggal dari keluarga ternama di lingkungan tempat tinggalnya. Bagaimana tidak, sang ayah merupakan mantan penggawa Timnas Sepak Bola Indonesia yang memiliki bisnis di mana-mana. Semua orang ingin menjadi dirinya...