Vonis itu serupa guntur di tengah cuaca cerah. Seperti tak bergejala, tahu-tahu mengganas dengan hebatnya. Bagaimana mungkin putranya yang selalu terlihat sehat mendapat vonis semengerikan itu? Akal sehat Ines menolak percaya. Berulang kali perempuan itu menggeleng, berusaha mementahkan pernyataan dokter, tetapi tak ada yang berubah.
Selembar kertas dalam genggamannya tetap bertuliskan kesimpulan yang sama. Bukan simpulan yang ia mengerti andai dokter tidak bermurah hati menjelaskan.
"Enggak mungkin, Dok. Anak saya kelihatan sehat. Dia belajar seperti biasa, makan normal, tidak pernah mengeluhkan apa pun. Tapi memang belakangan ini lebih sering sakit. Itu pasti gara-gara aktivitasnya sedikit padat." Ines masih berusaha menyangkal karena setahunya Dewangga memang baik-baik saja.
"Bu, penyakit seperti ini kadang tidak bergejala. Atau mungkin ada gejala, tapi diabaikan," terang sang dokter. Jujur saja ia terkejut karena Dewangga bisa bertahan sejauh ini tanpa pengobatan. Lebih-lebih, setelah mendengar pernyataan orang tua pasien bahwa anak itu tidak pernah mengeluh. Nyaris mustahil untuk kasus dengan metastasis jauh.
Ines tetap menggeleng, meskipun bersamaan dengan itu air matanya luruh.
"Dok, apa anak saya bisa sembuh dan kembali beraktivitas seperti biasa? Apa mungkin dia masih bisa meraih mimpinya?"
Pertanyaan sang istri sontak membuat Damian menoleh. "Mimpi Awang atau Mami?" sindirnya. "Tolong jangan melakukan apa pun lagi yang membuat Awang semakin sakit! Hentikan obsesi Mami."
"Jaga bicara Papi. Ini bukan obsesi. Dengan Awang punya mimpi, dia akan selalu punya alasan untuk bertahan."
Melihat pria berjas putih di hadapan mereka tampak tidak nyaman karena pertengkaran ini, Damian langsung berpamitan dan menyeret istrinya keluar dari ruangan dokter.
"Sakit, Pi. Lepas!"
Damian tak peduli. Tepat di depan kamar rawat putranya, Damian berhenti. Lelaki itu menyudutkan sang istri ke dinding, lalu meloloskan tatapan tajam. "Mi, tolong sekali ini aja lebih manusiawi. Berhenti memaksa Awang melakukan apa yang Mami mau. Ini bukan saat yang tepat memikirkan mimpinya. Beri Awang kesempatan untuk fokus pada kesembuhannya. Itu yang paling penting sekarang, 'kan? Dia anak kita satu-satunya."
"Kenapa apa yang Mami lakukan selalu salah di mata Papi? Mami bukan memaksakan kehendak. Mami cuma mau Awang punya motivasi untuk sembuh."
"Mi, apa kita enggak bisa jadi alasan untuk Awang sembuh? Jangan membebani pikirannya lagi. Kasihan dia. Kanker darah bukan penyakit sepele. Apalagi, dokter bilang penyakit Awang termasuk tipe akut yang bisa memburuk dengan cepat seandainya enggak langsung ditangani. Bisa enggak kita fokus sama kebahagiaan Awang aja?"
"Apa yang dokter bilang belum tentu benar, Pi. Mami yang setiap hari sama Awang tahu betul kondisinya. Awang enggak pernah ngeluh sakit atau apa pun. Dia selalu kelihatan baik-baik aja. Diagnosis dokternya pasti salah."
"Mami tahu apa yang bikin Awang enggak pernah ngeluh? Alasannya cuma satu. Mami enggak pernah ngasih dia waktu buat sekadar ngerasain sakit. Otaknya terus dijejali pelajaran dan soal."
Ines diam.
"Enggak pernah mengeluh bukan berarti Awang enggak merasakan sakit sama sekali."
"Terus apa? Kenapa selama ini Awang diam aja?"
"Awang enggak punya waktu buat bilang kalau dia enggak baik-baik aja."
Kemarahan Ines sedikit melunak, terlebih melihat sorot suaminya. Mata Damian tampak sedikit memerah dan berkaca-kaca seolah menularkan sakit yang sama.
"Aku mohon ... kasih Awang kesempatan buat bahagia."
Lirih sekali kalimat itu terucap, tetapi sanggup menikam Ines tepat di relungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dewangga [JJK]
Ficção AdolescenteDewangga Owen Aswandika adalah putra tunggal dari keluarga ternama di lingkungan tempat tinggalnya. Bagaimana tidak, sang ayah merupakan mantan penggawa Timnas Sepak Bola Indonesia yang memiliki bisnis di mana-mana. Semua orang ingin menjadi dirinya...