"Lo udah enggak marah sama kita?"
Mendengar pertanyaan Daniel, Dewangga tersenyum tipis sembari menggeleng. Rasanya tidak mungkin ia marah terlalu lama saat waktunya sendiri tengah dipertaruhkan. Belum tentu besok atau lusa ia masih bisa melihat kedua sahabatnya.
Tiga hari pasca mendapat vonis, hal pertama yang Dewangga lakukan begitu keluar dari rumah sakit memang menemui sahabatnya.
Sebenarnya Hyena yang ingin marah sekarang. Ia sedikit kecewa karena mengaku sebagai sahabat Dewangga dan Daniel, tetapi tak pernah tahu kalau selama ini Dewangga kesulitan karena Wira. Namun, Hyena cukup tahu diri untuk tak kembali membentang jarak dalam persahabatan mereka. Hyena mengapit lengan Dewangga, kemudian menyandarkan kepala di bahu pemuda itu.
Dewangga sedikit terkejut dengan perlakuan Hyena, tetapi masih berusaha bersikap normal.
"Gue kangen. Jangan marah lagi," ucap Hyena dengan nada lirih.
Daniel membuang pandangannya ke arah lain, berusaha untuk tidak tenggelam dalam perasaan aneh yang mengusik relungnya.
"Kata dokter lo sakit apa, Wang? Kok udah boleh keluyuran? Emang udah sembuh?" Gantian Daniel yang bersuara.
"Cuma terlalu capek. Lo tahu sendiri kegiatan gue setiap harinya kayak gimana. Gue udah lebih segar kok."
Jawaban itu hanya sebuah kebohongan. Pada kenyatannya, Dewangga tak pernah merasa lebih baik. Kondisi tubuhnya justru terasa semakin mengerikan setiap harinya. Ada rentetan rasa sakit yang sulit dijabarkan. Menghantamnya di sana-sini. Bahkan, tak memberi kesempatan untuk sekadar menyuarakan kesakitan sebelumnya. Dewangga tak pernah tahu, sampai kapan ia bisa bertahan dengan kondisi seperti ini.
"Eh, mumpung gue dibolehin jalan-jalan. Kita jalan, yuk. Masa cuma lihatin danau doang. Enakan pergi ke mana gitu yang enggak pernah kita datangin. Kalau gue udah sembuh 100%, besar kemungkinan gue bakal sibuk lagi soalnya."
"Ayo. Kita pikirin di jalan masalah tempatnya. Biar enggak buang waktu."
Hyena dan Dewangga mengangguk. Ketiganya langsung bangkit dan bergegas menuju mobil Daniel yang terparkir tak jauh dari posisi mereka berada.
Sepanjang perjalanan, Hyena terus mengoceh berusaha menyingkirkan kecanggungan. Bagaimanapun, pertengkaran mereka kemarin benar-benar membuat situasinya tidak nyaman. Daniel menanggapi, sembari sesekali mengejek atau menjahili Hyena. Sedangkan Dewangga tak terlalu banyak bicara. Pemuda itu hanya tersenyum atau turut tertawa menyaksikan perdebatan dua sahabatnya. Sampai tiba-tiba telinganya berdenging, mencetak kernyitan tak nyaman di dahi pemuda itu. Sejenak suara Hyena dan Daniel lenyap tak terjamah indra pendengarannya bersamaan dengan nyeri hebat di area kepala.
Menyadari perubahan ekspresi Dewangga, Hyena langsung bertanya dengan cemas, "Wang, lo kenapa?"
Semula hanya gerak bibir yang terbaca, sampai kemudian suara kedua sahabatnya kembali terdengar. Namun, bukannya merespons pertanyaan Hyena, Dewangga malah balik bertanya, "Kita mau ke mana, Na?"
Hyena sontak terdiam, Daniel pun refleks menginjak pedal rem dan menoleh ke belakang. Untungnya, jalanan sedang sepi. Jadi, mereka tak harus menelan umpatan dari pengendara lain. Bukan tanpa alasan keduanya sedemikian terkejut, Dewangga tahu betul ke mana mereka akan pergi karena anak itulah yang mengusulkan. Ketiganya hendak pergi ke taman hiburan karena sejak kecil Dewangga sudah kehilangan banyak waktu untuk sekadar bermain. Bagaimana mungkin sekarang justru Dewangga yang tiba-tiba lupa rencana mereka?
"Hm ... kita mau antar lo balik."
Hyena langsung beralih pandang pada Daniel, memprotes lewat tatap. Namun, Daniel memberi kode agar Hyena mengikuti apa pun yang ia katakan untuk sekarang. Mereka sama-sama sadar kalau Dewangga sedang tidak baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dewangga [JJK]
Teen FictionDewangga Owen Aswandika adalah putra tunggal dari keluarga ternama di lingkungan tempat tinggalnya. Bagaimana tidak, sang ayah merupakan mantan penggawa Timnas Sepak Bola Indonesia yang memiliki bisnis di mana-mana. Semua orang ingin menjadi dirinya...