Chapter 19 : Kontras suasana hati

292 44 7
                                    

Daniel tak berhenti muntah sejak pulang dari rumah sakit tadi. Ulu hatinya benar-benar sakit, bahkan merambat hingga ke bagian belakang. Membayangkan setiap kemungkinan yang akan terjadi, menyiksanya lebih banyak. Daniel takut ditinggalkan. Daniel takut sendirian. Daniel tidak ingin siapapun pergi lagi dari hidupnya. Termasuk Dewangga.

Dewangga orang kedua setelah sang ayah yang berjanji tidak akan meninggalkannya. Berusaha meyakinkan bahwa Daniel tidak akan pernah dibiarkan sendirian. Dewangga dan Hyena selalu menemani seperti apa pun kondisinya, lantas bagaimana jika Tuhan kembali mengambil orang terdekatnya?

Daniel buru-buru menutup pintu kamar mandi saat mendengar pintu kamarnya dibuka. Ia tahu siapa yang masuk, dan Daniel tidak ingin sang bunda melihat kondisinya sekarang.

"Sayang, kamu enggak apa-apa?" tanya Fara sembari mengetuk pintu kamar mandi. Namun, tak terdengar jawaban. Meskipun khawatir, ia memutuskan untuk menunggu. 

Tak berselang lama Daniel keluar. Wajahnya pucat, bajunya pun basah bermandi keringat. Perempuan itu menghela napas berat melihat betapa berantakan putranya sekarang, tetapi ia berusaha bersikap biasa, tidak ingin terlihat sedih.

"Bunda bawa air hangat. Diminum dulu."

Tanpa basa-basi, Daniel langsung menolak tawaran sang bunda karena takut kembali muntah.

"Kenapa bisa begini? Kamu mikirin apa?"

Selain telat makan dan hal lain yang menyebabkan asam lambung naik, Fara tahu beban pikiran sekecil apa pun bisa menumbangkan putranya. Namun, Daniel tak menjawab. Ia tahu pembahasan soal ayahnya begitu sensitif.

"Obatnya diminum dulu, setengah jam lagi nanti kita makan biar enakan perutnya."

"Aku mau tidur aja, Bun, boleh?"

"Ya udah. Nanti kalau kamu enggak ngerasa baikan juga kita berobat, ya."

Daniel hanya mengangguk pelan. Ia tidak memiliki tenaga bahkan untuk sekadar membantah. Lelaki itu mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas samping tempat tidurnya, kemudian melakukan sambungan telepon.

"Halo."

"Halo, Na. Awang gimana?"

"Suara lo kenapa?" Bukannya menjawab, Hyena justru balik bertanya. Bukan tanpa alasan, suara Daniel yang serak bahkan hilang timbul dan terdengar lemas jelas mengundang tanya.

"Enggak apa-apa."

"Awang udah oke kok. Tadi setelah lo pulang dia juga langsung tidur. Kata Tante Ines, sih, itu hal normal."

Daniel tahu. Namun, melihat kejadian itu tetap mengingatkannya pada sang ayah. Jadi, dia buru-buru minggat sebelum melihat lebih banyak apa yang terjadi pada Dewangga.

"Dan."

"Hm?"

"Enggak semua seburuk yang lo pikir. Garis takdir orang juga beda-beda walaupun semua akhirnya sama ... bakal pulang. Tinggal tunggu waktunya aja, 'kan? Jadi, jangan bikin sakit diri lo sendiri dengan berpikir terlalu banyak. Awang aja mau lho berserah, kenapa kita harus pusing memikirkan sesuatu yang bukan urusan kita?" Hyena diam sejenak, sebelum akhirnya kembali bicara, "Gue bilang gini bukan karena enggak sayang sama Awang. Gue sayang kalian berdua. Awang udah jelas lagi sakit, dia butuh kita, kalau lo ikut sakit, gue gimana? Awang gimana?"

"Sorry."

"Jangan bilang maaf ke gue. Bilang itu sama diri lo sendiri. Sekarang lo udah makan belum?"

"Belum."

"Mau gue bawain apa?"

"Belum pengin apa-apa. Enek."

Dewangga [JJK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang