Chapter 3 : Ashilaui Bunno

5 1 0
                                    

"Jangan anggap remeh hal sekecil apapun, karena dimulai dari hal kecil itulah semuanya menjadi besar dan kemudian akan hancur."

_________________***_________________

Terkadang Tiara iri dengan sosok Ashila. Dia ramah, perhatian, kuat, dan wajah sempurnanya itu yang selalu membuat Tiara iri sampai ke akar akarnya. Dibanding dengan Tiara yang pucat, ringkih, rapuh, dan hanya bisa mengandalkan seseorang dalam hidupnya dja bisa apa? Berbeda derajat sekali, bukan?

Kadang Tiara berpikir kenapa Tuhan setidak adil ini padanya? Kenapa Tuhan tega mengambil nyawa otangtuanya? Kenapa tuhan sekejam itu membiarkan Tiara terjebak sendirian dalam ruang hampa dan gelap yang ditakutinya?

Kenapa?

Kenapa?

Kenapa?

Ah, Tiara ingin berteriak saja rasanya.

Ia terlalu takut jatuh. Ia takut sendirian dengan kesakitan yang masih membekas di relung hatinya. Tiara kadang bertanya tanya, dari sekian banyak garis hidup yang Tuhan berikan pada manusia, kenapa harus garis hidupnya yang ditakdirkan seperti itu?

Sakit sekali.

Tiara selalu iri pada Ashila. Terutama iri pada kedua orangtuanya yang masih lengkap.

Kalau bisa, Tiara lebih memilih ikut kedua orangtuanya saja. Seharusnya Ashila tak perlu menolongnya saat itu kalau semakin membuat Tiara jatuh ke jurang gelap tak berujung.

Tiara menggeleng. Ia harusnya bersyukur karena Ashila sepeduli ini karena masih mau menolongnya. Menyelamatkan hidupnya walaupun bukan itu yang Tiara inginkan.

Tapi..

Jika ia memilih keluar dari kehidupan, dia pasti akan bahagia dengan kedua orangtuanya diatas sana.

Sebaiknya memang iya.

Lagipula siapa yang masih mengharapkan kehadirannya di dunia ini? Mungkin hanya Ashila seorang.

Tapi, bukankah lebih baik kalau dia memang pergi saja? Ashila akan lebih ringan menanggung bebannya tanpa ada Tiara yang menambahkannya.

Tiara tersenyum miris, ia mengambil pisau yang paling tajam, sepersekian detik ketika ujung pisau itu sudah ingin memutus nadinya, tiba tiba pisau itu terlempar begitu saja karena tendangan kuat seseorang.

Tiara mendongak. Di hadapannya sudah ada Ashila yang menggeram marah. Rahangnya mengetat dengan sorot tajam yang menandakan betapa murkanya dia. Tiara tersenyum kecil. Melihat kemarahan memuncak seorang Ashila yang langka itu membuat Tiara setidaknya merasa 'sedikit' dipedulikan.

Ashila mencengkram kedua bahu Tiara erat, masih menyorot sang sahabat dengan sorot bengis. "LO NGAPAIN TADI HAH? LO SADAR SEGILA APA HAL YANG BARUSAN HAMPIR LO LAKUIN?!"

Bahasanya bahkan sudah berganti lo-gue. Tiara tak pernah melihat Ashila sampai semarah ini. Semarah marahnya Ashila, dia tidak pernah mengubah bahasa aku-kamunya.

Baru kali ini.

Baru kali ini Ashila sebengis ini pada sahabat sendiri.

Jelas saja. Karena itu semua menyangkut hidup dan mati.

Dan apa yang barusan ingin Tiara lakukan, heh? Dia benar benar sudah gila.

"Jawab gue!! Lo mau ninggalin gue sendirian?! Maksud lo apa?! Kenapa lo setega itu sama gue, Tiara?!!" Ashila menggigit bibir bawahnya, berusaha menyurut emosi yang kian bergejolak di hatinya.

Tiara terkekeh kecil. "Kamu gak sendirian. Justru aku yang sendirian selama ini--"

"Lo punya gue !! Sampai kapanpun lo gak bakalan pernah sendirian, ngerti?"

FAKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang