Pulang

535 69 2
                                    

Pulang (c) faihyuu

Naruto, Boruto (c) Masashi Kishimoto, Mikio Ikemoto, Studio Pierrot.

Warning(s) : Ide Mainstream, Canon/semi Canon?—entahlah, OOC, Miss Typo(s), absurd, dll.

Saya tidak mendapat keuntungan materiil apa pun, selain dengan kepuasan batin. Dengan latar waktu sehari setelah Boruto episode 154.

•••

Ketika pulang, Naruto menemukan Himawari yang sudah dapat berjalan-jalan di tembok rumah mereka.

Pria kuning itu terdiam di
depan pintu ruang tengah, dari sana maniknya dapat menangkap Himawari yang sedang berlatih diawasi oleh Boruto dan Hinata. Naruto memperhatikan bagaimana gerak-gerik Himawari yang tengah memfokuskan chakra pada kakinya. Dia juga tahu bahwa Hinata sedari tadi juga menyadari eksistensinya, tetapi istrinya itu memang sengaja diam untuk tidak menganggu fokus putri mereka. Atau memang sengaja untuk memperlihatkannya bagaimana perkembangan Hima manisnya?

"Sepuluh langkah. Awal yang baik, Hima!" Boruto memberi sebuah usapan asal penuh kasih sayang pada sang adik, yang dibalas dengan rengutan kesal dari Himawari—rambut sewarna ibunya itu jadi sedikit berantakan.

"Nii-chan, ih!"

Mengurvakan senyum bangga. Naruto mengeluarkan suara, "Tadaima,"

Ketiga manusia itu menoleh. Hinata memberikan senyuman hangat, Boruto yang mengerucutkan tubir, dan Himawari yang tersenyum manis— sekali.

"Okaeriiiii!!!"

Oh, Naruto selalu suka ketika suara putrinya terdengar. Sedikit melengking, tetapi tak mematikan kesan lembut di sana. Penuh keceriaan, kebahagiaan, dan segala sesuatu yang menyenangkan.

Selain senyum dan suara, kepala keluarga Uzumaki itu sangat suka bagaimana Himawari yang selalu memeluknya untuk menyambut.

"Papa! Tadi Hima sudah bisa jalan di tembok, lho!" Putri manisnya itu mulai bercerita, kesan menggemaskan memang tak akan pernah lepas dari Himawari, kesayangannya. Naruto mengakui bahwa putrinya adalah anak perempuan termanis yang pernah ia temui selama hidupnya. Ah, seorang ayah yang sedang membanggakan putrinya.

"Wah, Himawari hebat!" Naruto mengusap pelan kepala dengan rambut nila itu. Ada rasa tak percaya yang hinggap, dia merasa Himawari harusnya tak usah cepat-cepat sedewasa ini.

"Tumben, Tou-chan pulang cepat. Ada apa?" Omong-omong, Boruto ini memang komentator bermulut pedas tanpa anak laki-laki itu sadari. Anak itu seringkali menimbulkan konfrontasi di tengah perdamaian. Namun, itu sama sekali tidak membuat Naruto marah—justru malah hasrat aneh untuk memeluk anak laki-lakinya itu, mengacak-acak sayang rambut kuningnya yang jauh lebih lebat daripada rambutnya.

"Boruto," Jika Boruto adalah nama lain dari konfrontasi, maka Hinata adalah penengah. Wanita itu selalu memiliki cara tersendiri untuk meredakan konflik yang tiba-tiba terasa begitu saja. Bahkan hanya dengan menyebut lembut nama putra mereka.

"Bukankah tadi kau yang menanyakan Tou-san kapan pulang, hm? Sekarang Tou-san sudah berada di sini, bisa mengikuti makan malam lebih awal dari yang biasanya."

Hinata sebagai ibu bisa dibilang mengenal Boruto sedemikian rupa, tentu aja.

Boruto tumbuh di dalam diri wanita itu selama hampir sembilan bulan, melahirkan anak laki-laki dengan mengeluarkan lebih banyak tenaga daripada ibu-ibu lainnya. Bahkan Naruto bisa mengatakan bahwa Hinata benar-benar wanita yang kuat selain ibunya.

AnganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang