Sudah lebih dari dua jam Ayala menunggu Arlen, duduk sendirian di halte bus sekolahnya, bisa saja Ayala pulang dengan naik angkot atau bus kota tapi dia tidak enak hati kalau Arlen mencarinya.
Pernah dulu Ayala pulang naik angkot dan tidak memberi tahu Arlen, Ayala mendapat kabar dari Shinta yang lembur karena urusan OSIS berkata kalau Arlen mencarinya keliling sekolah dan menunggu Ayala sampai malam.
Mungkin kah karma? Karena sekarang jam sudah menunjukan angka 18.30 tapi Arlen tak kunjung menghampirinya, dan sialnya Ayala mempunyai kebiasaan tidak membawa handphone. Ponsel pintar miliknya lebih sering di tangan Budi ayahnya ketimbang dirinya.
"Hah.." untuk kesekian kali Ayala membuang nafas mencoba menghilangkan rasa lelah tubuhnya karena menunggu.
Menunggu saja melelahkan padahal Ayala duduk tidak berlarian, apalagi sibuk berharap Arlen cepat datang, yang ada hanya waktu semakin berputar tanpa kedatangan seseorang.
Ayala jadi merasa bersalah, karena sekarang dia menyadari betapa lelahnya Arlen menunggu dirinya dulu sedangkan Ayala sudah duduk di kasurnya yang nyaman. Arlen yang baik, kebaikannya hanya dia sia-siakan untuk Ayala yang egois.
"Pasti jauh di lubuk hatinya ada kejenuhan juga, kenapa sekarang aku baru sadar kalo aku ini jahat?"
Ayala ingat juga saat Arlen malam-malam membawakannya nasi goreng dan terang bulan, karena kesal terus di ganggu Ayala tidak menerima buah tangan Arlen bahkan mengusirnya dengan kasar. Lengkap sudah, mungkin jika Ayala mendaftar jadi artis sinetron pemeran antagonis yang paling tepat untuknya.
Saat Ayala melamun tiba-tiba saja tercium bau wangi yang menyengat, Ayala tercekat, kenapa wanginya nuansa pemakaman? Bahkan sekarang Ayala merasakan ada orang di sampingnya.
"Ayala!" Seseorang itu menepuk bahu Ayala keras, sampai tubuhnya berjingkrak pelan karena rasa terkejut.
"Shinta! Ngagetin aja." Ayala mengusap dadanya yang berdebar-debar.
"Ngapain Lo disini? Arlen mana?"
Pasti Shinta baru selesai acara diskusi OSIS nya, terlihat juga beberapa siswa siswi anggota OSIS yang keluar sekolah dengan kendaraan masing-masing.
"Gak tau, kamu gak liat di dalem tadi? Mungkin masih bimbingan buat olimpiade."
"Gak mungkin sampe malem gini lah, tu orang pasti lupa, bener-bener! Udah bareng gue aja kita cari tempat makan." Ayala baru sadar kalau perutnya pun lelah menunggu makanan masuk, Shinta memang sahabatnya yang tidak bisa dibandingkan.
***
"Dari mana aja baru pulang?" Risa menghadang Arlen di depan pintu dengan bertolak pinggang.
"Rumah sakit."
"What? Siapa yang sakit? Arlen anak mamah gak kenapa-kenapa kan?" Risa yang semula bermuka marah langsung panik dan membolak-balik badan Arlen mencoba mencari lecet di tubuhnya.
"Arlen gak pp mah, udah ah Arlen capek." Dengan lunglai Arlen berjalan masuk melewati tubuh Risa.
Risa yang menyadari sikap Arlen yang agak aneh langsung menghentikan langkahnya.
"Mamah lagi ngomong Arlen! Dengerin!" Mendengar suara mamahnya yang serius mau tak mau Arlen menghentikan langkahnya dan kembali menghadap Risa.
"Kalo ada masalah Arlen cerita sama mamah, jangan ngelampiasin kesalnya sama mamah apalagi sikap Arlen jadi dingin kaya gini, mamah sakit Arlen kaya gini sama mamah." Mata Risa mulai berkaca-kaca.
Tanpa aba-aba Arlen langsung memeluk tubuh Risa menenggelamkan wajahnya pada bahu mamahnya, hari ini untuk kesekian kalinya Arlen membuat Risa menangis. Mamahnya yang tidak tahu apa-apa ikut merasakan sakitnya karena Arlen.
"Maafin Arlen mah, jangan nangis lagi Arlen minta maaf."
Sret~
Tubuh Risa ditarik paksa dari pelukan Arlen.
"Apa yang kau perbuat pada istriku sampai dia menangis?" Dengan tampang bagai di film sinetron Adnan menunjuk-nunjuk Arlen.
" Tidak pah, ini salah paham. Mamah..." Arlen menjulurkan tangannya berusaha menggapai tangan Risa yang juga menjulur ke arahnya.
"Tidak jangan pisahkan aku dengan anakku! Tidak!" Risa mencoba melepaskan dekapan tangan Adnan di tubuhnya.
"Mamah...!" Arlen semakin menjulurkan tangannya sampai dia berlutut.
"Arleeen...!" Risa tak mau kalah juga semakin membuat Adnan kewalahan karena menahan agar tangannya tak terlepas, sampai kakinya terinjak-injak oleh Risa.
"Hah mulai lagi..." Dengan malas Gibran kembali ke kamarnya, dia tak jadi mengambil air minum karena keluarganya sedang mengadakan reka adegan di sinetron yang membuat matanya perih.
***
"Wangi banget perasaan, ganti parfum?"
Shinta senyum-senyum gak jelas
"Enggak sih, ini punya mamah. Parfum gue abis belum sempet beli."
"Pantesan rasanya gak asing kaya kenal gitu, bau pemakaman baru iiiiiiii merinding tadi aku nyiumnya."
Satu tarikan berhasil hinggap di rambut Ayala.
"Emang wangi banget ya?"
"Iya semerbak gitu, sampe sesak kalo nafas."
Shinta menutup mulutnya dengan kedua tangan, tiba-tiba saja dia teringat kejadian beberapa jam lalu di ruang OSIS.
"Jangan-jangan si Amel sesak nafas gara-gara duduk di samping gue."
***
Ayala sampai di rumahnya pukul 8 malam, hari ini sepertinya dia akan kena marah ayahnya. Dengan hati-hati Ayala membuka pintu rumahnya yang tidak terkunci dan mengucapkan salam dengan lirih.
"Ya ampun Yala! Ayah nungguin dari tadi sampe abis satu panci kopi, dari mana aja? Abis ketemuan sama pacar kamu itu? Hah? Jelasin." Memang Budi tidak membentak tapi jelas terdengar ada rasa marah di dalam ucapannya.
"Ayah hawatir Yala tau enggak? Takut anak semata wayang ayah kenapa-kenapa, lagian kenapa enggak telfon ayah?"
"Tadi sampe ayah telfon mas ganteng tapi gak di angkat-angkat, tadi ayah telfon belum di angkat sama mas ganteng ayah matiin, maunya mas ganteng apa sih kesel ayah."
Sederet pertanyaan langsung keluar dari Budi saat melihat anaknya pulang, Ayala yang tadinya takut dimarahi jadi tertawa kecil mendengar ayahnya.
"Ayah ini seharusnya jangan di matiin dulu telfonnya. Tadi Yala pergi sama Shinta jadi lupa waktu, maafin Yala ya yah telat pulang." Ayala tak mau jika sampai ayahnya berpikir buruk tentang Arlen, sudah susah payah Arlen mencoba mendapatkan hati ayahnya.
"Hadeh, ya udah ayah maafin lain kali gak boleh sampe malem-malem gini."
"Siap ayah."
"Oh iya, ayah minta maaf juga soal kemarin pagi."
Ayala tersenyum tipis
"Iya gak pp ko, Ayala ngerti ayah pasti kesepian gak ada bunda."
"Syukur gak salah paham lagi."
"Tapi Ayala gak ngizinin ayah nikah lagi, Kalo sampe ayah nikah lagi Ayala bakal minggat dari rumah!" Wajah Ayala berubah serius.
"Ealah emang siapa yang mau nikah lagi? Kamu ini, gini-gini bundamu masih ada di hati ayah gak akan pernah terganti." Kumis tebal Budi terangkat melengkung ke atas karena tersenyum, rindu sekali melihat Zulaikha istrinya tertawa bersama mereka berdua. Zulaikha memang sudah pergi tapi kenangan dan kasih sayangnya masih lekat terasa di rumah dan keluarga kecil ini.
***
TBC
Jangan lupa tekan bintangnya⭐
KAMU SEDANG MEMBACA
ARLAYA
Teen FictionPada awalnya hubungan antara Arlen dan Ayala berjalan dengan baik, Arlen yang sibuk mendapatkan hati Ayala dengan tingkah konyolnya, dan Ayala yang sibuk menjalani hidupnya dengan berbagai tingkah absurd pacarnya. Sampai suatu ketika sahabat kecil A...