6. Diary Depresiku

263 38 23
                                    

Diary Depresiku—Last Child

***

Salsa masuk rumah, sudah waktunya bagi ia untuk pulang. Begitu yang ia pikirkan sejenak sebelum matanya menangkap sesuatu yang tergeletak di tanah.

Dalam keadaan gelap seperti sekarang, mata Rafael tak mampu melihat dengan jelas, apalagi posisi mereka cukup berjauhan. Memutuskan untuk turun dari motor dan mengambil benda tersebut, baru disadari bahwa benda itu merupakan lipbalm. Bukankah ini milik Salsa? Pasalnya, ia tadi sempat melihat bahwa gadis itu memakainya ketika di rumah Wilona tadi. Kemungkinan besar, benda itu bisa terjatuh akibat Salsa yang terburu-buru memasukkan barang-barangnya ke dalam tas sehingga tidak masuk dengan sempurna dan berakhir jatuh.

Rafael cukup kagum dengan keberuntungan Salsa. Karena bisa saja lipbalm tersebut jatuh selama perjalanan tadi.

Perlukah Rafael mengembalikan sekarang? Ia memandang benda di tangannya dan pintu rumah Salsa bergantian.

Mengembuskan napas berat, Rafael memutuskan untuk mengembalikannya sekarang. Daripada mengembalikan esok hari, ia akan malah mendapat banyak gosip, apalagi Sandra si biang gosip bisa saja malah menyebar berita yang tidak-tidak.

Mami, Papi.”

Tangan Rafael yang sebelumnya hendak mengetuk pintu mendadak terhenti di udara. Ia hafal betul bahwa suara yang ada di balik pintu adalah Salsa.

“Salsa nggak mau kalian pisah.

Meskipun tidak terlalu jelas, Rafael tahu jika gadis itu menangis. Terkadang, ia selalu bertanya mengapa takdir selalu membawanya ke dalam dunia abu-abu milik Salsa. Ia sudah terlalu sering melihatnya menangis.

Hal tak terduga berikutnya adalah pintu yang secara tiba-tiba terbuka. Keterkejutan tampak juga muncul di wajahnya. Dengan cahaya samar-samar dari lampu teras, dapat Rafael tangkap bahwa Salsa tengah menangis.

Rafael bahkan belum mengungkapkan maksud dan tujuannya berhenti di ambang pintung tatkala Salsa tanpa izin menubrukkan diri padanya. Tangan gadis itu memeluk tubuhnya erat. Tangisannya semakin pecah.

“Gue nggak tahan lagi, Raf. Gue nggak tahan. Rumah gue hancur. Mereka mau pisah, Raf. Gue nggak bisa nahan lagi.”

Butuh waktu sepersekian detik untuk Rafael mencerna apa yang terjadi. Salsa yang memeluknya, dan bahkan kemunculan seorang laki-laki paruh baya tak lama setelah itu.

“Lepasin Salsa.” Laki-laki yang Rafael ketahui sebagai papi Salsa tersebut menarik lengan putrinya yang kemudian ditolak begitu saja.

Salsa sudah berhenti menangis begitu kemunculan papinya. Namun, tubuh gadis itu masih bergetar. Tidak seinci pun ia beranjak darinya. Tangan Salsa semakin mencengkeram erat jaket yang ia kenakan.

“Siapa kamu?” Menyadari sang putri tidak mau melepaskan diri darinya, laki-laki paruh baya itu memberinya intimidasi. Melihat posisinya sekarang, tentu saja lawan bicaranya tersebut tidak akan mempercayai jika ia hanyalah teman biasa.

Tangan Rafael tergerak untuk mengelus pelan puncak kepala Salsa. “Saya pacarnya.”

Situasi yang Rafael kira akan membaik ternyata malah sebaliknya. Papi Salsa makin berang. Laki-laki paruh baya itu mencoba menariknya agar menjauhi Salsa. “Kamu yang bikin Salsa pulang jam segini?” Suaranya menyimpan kemarahan. “Jauhin dia. Dia putri saya, saya berhak atas dia sekarang.”

TIEMPO (revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang