Father—Demi Lovato
***
“Lo musuhan sama Titan, Raf?” Salsa bertanya demikian begitu menyadari Rafael sudah jarang bersama dengan Titan. Akhir-akhir ini, pemuda itu memang lebih sering menyendiri dan menjauhi ketiga temannya. Sudah tentu orang-orang yang hanya melihat pun tahu jika Rafael tengah menghindar.
“Bukan urusan lo.” Rafael menjawab seraya memantulkan bolanya ke lantai. Pemuda itu sedikit berancang-ancang lalu menembakkan bolanya ke ring. Gagal. Three point shoot-nya malah melenceng jauh. Mendesah pelan, ia membanting bolanya dan berjalan mendekati tribun. Diambilnya handuk kecil yang sudah ia bawa dari rumah lalu mengusap keringatnya.
Salsa yang melihat hal itu tak mampu untuk mengeluarkan kalimat jawaban. Bahkan, saat menyerahkan air minum pun, tangannya sudah panas dingin sendiri. Fakta bahwa pertandingan kedua akan dimulai sebentar lagi, sedang performa masih kacau tentu membuat beban tersendiri untuk Rafael.
Pemuda itu mengambil posisi di sebelah Salsa. Napasnya masih tidak beraturan akibat latihan fisik yang baru saja dilakukannya. “Sorry, gue nggak bermaksud kaya tadi,” katanya. Ia memejamkan mata, mencoba menikmati tiap celah kelelahan yang tengah menggerogoti tubuh.
“Gue ngerti, Raf.” Salsa pada akhirnya kembali bersuara. Pelan ia berkata, “Nerima kekalahan tuh emang berat, tapi kalau dilihat dari sisi positifnya, kita bisa belajar banyak dari pengalaman itu, kan? Mungkin tentang belajar lebih baik atau biar bisa hati-hati ke depannya.” Rafael memang tidak membutuhkan kalimat tersebut, tetapi ia harus tetap mengatakannya sebagai suatu bentuk kepedulian yang bisa ia lakukan.
Rafael tak menjawab ucapannya. Pemuda itu hanya lanjut minum dan mengusap keringatnya yang belum berhenti menetes.
Pada detik ini, Salsa berandai jika ia adalah Wilona. Tentu saja, apabila kalimat barusan diucapkan gadis itu, Rafael akan menjadi lebih tenang. Sehingga kemungkinan pemuda itu bisa mencetak banyak poin akan menjadi lebih banyak. Yah seandainya saja.
Jeda sejenak. Baik Salsa maupun Rafael menikmati waktu saling tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hanya ada suara keramaian dari murid-murid yang menghabiskan waktunya di luar gedung olahraga sewaktu istirahat.
Salsa menarik napas dalam-dalam, ia berniat untuk mengganti topik obrolan sekarang. Karena, jika mereka terus-terusan mengobrolkan kekalahan tempo hari, hal canggung adalah hal paling normal yang mungkin terjadi. Ia tidak ingin menghabiskan waktu istirahatnya dengan saling diam dengan Rafael, apalagi setelah Fifi tadi memberinya dorongan melalui kalimat pedasnya.
“Eh lo mau ngado apa buat Wilona?” Pada akhirnya, topik obrolan yang muncul di benak Salsa hanya tentang pesta ulang tahun Wilona. Meskipun pembicaraan ini hanya bisa menyakiti perasaannya, tapi setidaknya obrolan dengan Rafael bisa berjalan lancar.
Benar saja, raut wajah Rafael yang mulanya lesu seketika berubah. Meski tak tersenyum lebar, Salsa menangkap gurat kesenangan muncul pada ekspresi pemuda itu. Dalam hati, Salsa berharap kado yang akan diberikan bukanlah hal-hal romantis seperti buket bunga, album foto, cincin, dan lain-lainnya.
“Buku.”
“Buku?” Salsa mengulang, cukup penasaran dengan buku yang dibelikan Rafael.
“Iya. Buku Fokus dan Siap UTBK-SNBT.”
KAMU SEDANG MEMBACA
TIEMPO (revisi)
Teen FictionHanya karena permintaan Salsa kepada Rafael supaya menjadi pacar, membuat mereka harus terjebak dalam hubungan yang rumit. Ketika semua orang terpesona dengan senyuman menawan Salsa, Rafael sama sekali tidak tertarik. ©10 Juli 2019 [SEDANG REVISI]