Bab. 17 Kabar Buruk

535 77 2
                                    

Bagian 17
Kabar Buruk

❣❣❣

Kamar bernuansa merah jambu dan biru muda, penuh rak lemari berisi berbagai jenis buku. Ada sofa kecil warna cream dan meja kecil di tengahnya. Membuatku tak bisa berkata-kata, ditambah tulisan 'Rumah Baca Haura' di dinding dan dipasang lampu warna-warni.

Mataku berkaca-kaca seketika, lalu menoleh menatap Kak Raga yang berdiri di sampingku.

"Apa maksudnya ini semua?"

"Kado ulang tahun ke 17 yang belum sempat gue kasih lihat. Lo pernah bilang pengen banget punya perpustakaan sendiri dengan nuansa seperti ini, kan?"

"Gak penting!" tukasku ketika Kak Raga diam, menghela napas panjang.

"Gue minta maaf, Ra." Kak Raga menatapku, raut wajahnya menyiratkan penyesalan. "Gue kejebak kemarin. Percaya gitu aja sama omongan Rina. Dan ...."

"Cukup!" selaku cepat, mengusap mata secara kasar dan kembali berucap, "Semua udah gak penting lagi. Mau kamu kejebak. Mau kamu percaya gitu aja sama omongan Rina. Sama aja. Semua gak akan ngubah apa pun penilaian kamu ke aku. Aku tetap cewek murahan yang bisa dibeli dengan uang!"

"Gue tau gue salah. Gue bener-bener minta maaf. Gue udah tau semuanya, Ra. Lo ngorbanin diri buat abang lo yang kecelakaan. Andai gue tau dari awal tentang kecelakaan itu, gue akan ngelarang lo jual ... jual diri."

Aku mendengkus kasar dan menyeringai lebar. Semua sudah terlambat. Takdir telah menyeretku pada kubangan lumpur yang hina. Percuma saja jika sekarang aku menyesalinya.

"Gak perlu lagi basa-basi. Sekarang cepat lakukan apa yang ingin kamu lakukan padaku." Aku menurunkan resleting baju yang kukenakan.

"Lo mau ngapain, Ra?"

"Apalagi? Kamu udah bayar mahal buat ngebeli aku, kan? Silakan lakukan apa pun, terserah kamu, sepuas kamu." Baju yang kukenakan sudah terbuka memperlihatkan tank top warna hitam.

Kak Raga justru menaikkan lagi bajuku dengan cepat. "Gue gak akan pernah bisa menikmati tubuh wanita yang gue cintai dengan cara seperti ini, Ra!"

"Lalu cara apa?!" Aku membentak dan menyingkirkan tangannya secara kasar.

"Dengan cara yang jauh lebih menghargai. Bukan dibeli dengan uang."

"Bullshit!" Aku menatap tajam, walau sesak di dada membuat air mata menggenang. "Gak inget saat kamu bilang bahwa aku adalah wanita murahan yang bisa dibeli dengan uang? Lupa? Harga diriku udah kamu beli. Terlalu murah kamu bilang. Ingat?"

Kak Raga menggeleng lemah. "Gue nyesel, Ra. Gue kebawa emosi waktu itu. Perasaan gue kacau. Hancur saat tahu lo memang seperti yang Rina bilang. Emosi bikin gue gak bisa pikir panjang dan cari tahu dulu kebenarannya. Gue minta maaf, Ra."

Aku menarik napas panjang dan menghapus air mata di pipi dan mata. "Sekarang mau kamu, apa?"

"Lo maafin gue."

"Kalau aku udah maafin? Apa lagi?"

"Gue akan bantu lo buat keluar dari sana."

Aku bungkam seketika. Menatapnya tak percaya. Namun, sorot mata Kak Raga menyiratkan kesungguhan dan ketulusan. Sama sekali tak kutemukan kebohongan.

"Gue ada tabungan sendiri dari hasil usaha yang udah gue rintis dari SMP. Kalau kurang, ntar gue bisa pinjem uang Bokap. Lo tenang aja."

"Gak perlu." Aku menjawab akhirnya. Merasa sungkan dibantu sedemikian rupa oleh orang yang bukan siapa-siapa. "Kamu gak perlu susah payah ngeluarin uang buat nebus aku. Aku gak mau utang budi."

Catatan Kelam Sang PendosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang