Bagian
Dipaksa Pergi*
Kalian tahu, terkadang tempat yang menurutmu paling aman dan nyaman, adalah tempat paling berbahaya sebenarnya. Dan orang yang paling dipercaya adalah orang paling pandai menutupi dustanya.
Seperti yang terjadi malam itu. Malam terkutuk yang seumur hidup meninggalkan luka yang tak ada obatnya. Yang pada akhirnya membawaku pada derita yang tiada habisnya.
Kepala berdenyut sakit sekali ketika aku membuka mata. Sekujur tubuh remuk bagai dihajar semalaman. Menoleh ke jendela, terang di luar sana walau masih ditutup tirai putih. Aku mencoba menggerakkan kaki. Sakit! Bukan kakiku, tapi bagian bawah perut di antara paha, terasa nyeri sekali.
Rasa apa ini? Mengapa rasanya ganjil begini? Saat kugigit bibir demi menahan nyeri, sambil memejamkan mata dengan satu tangan menekan kepala, ingatan tentang kejadian semalam terlintas segera. Seseorang tiba-tiba menutup mata dan mulutku dengan kain, saat aku memberontak, kedua tangan malah diikat. Tak ada yang bisa kulakukan selain merasakan sentuhan-sentuhan aneh disusul desahan menjijikkan! Sampai sesuatu masuk dalam diriku secara paksa, membuatku memekik karena sakitnya tak terkira. Setelah itu, entah apa yang terjadi, sampai aku sadar pagi ini.
Ya Tuhan, usiaku saat itu baru 12 tahun. Bahkan belum mendapatkan menstruasi, tapi sudah diperlakukan tak manusiawi oleh lelaki yang tak punya hati! Hanya gadis kecil malang yang butuh perlindungan. Namun justru satu-satunya harga diri yang kumiliki telah direnggut dan dirampas begitu tega.
Kesadaran itu membuatku terisak setelahnya. Menyadari telah kehilangan sesuatu paling berharga dalam diriku. Tangisku semakin mengencang hingga pintu kamar dibuka oleh seseorang.
"Haura? Kamu kenapa, Nak?" Bu Siska datang menghampiri. Duduk di samping ranjang dan langsung memelukku setelah membantuku duduk.
Pelukan dan elusan di punggung, justru membuatku semakin larut dalam tangis sedu sedan. Bu Siska bertanya sekali lagi. Namun, kerongkonganku terasa kering hingga sama sekali tak mampu mengeluarkan suara. Hanya isak tangis yang mendalam.
Bagaimana caranya aku mengatakan kalau semalam ada seseorang yang telah merenggut kesucianku? Bahkan aku sendiri tidak tahu siapa yang melakukan itu.
"Tenanglah. Kamu mimpi buruk, ya?" Bu Siska merenggangkan pelukan, tersenyum dan mengusap wajahku yang basah. "Ibu bikinin susu cokelat, mau? Atau mau sarapan donat? Kamu suka donat, kan? Tadi pagi-pagi Rafly sudah beli di warung sebelah."
"Kak Rafly?" Serak aku bertanya.
Seperti paham maksud pertanyaanku, Bu Siska menjelaskan, "Rafly udah berangkat sekolah. Begitu juga dengan Lily. Kalau Lutfi, baru saja pergi, hari ini berangkat kuliah lagi ke Jogja."
Aku diam tapi masih dengan sorot mata bertanya, hingga Bu Siska kembali menjelaskan, "Kalau Ibu, sengaja libur hari ini. Untuk membicarakan hal penting ke kamu."
"Apa?" Aku berharap mendapat penjelasan tentang kejadian semalam.
"Semalam Ibu sudah telepon yayasan di Jakarta. Yayasan yang akan membantumu untuk sekolah lagi. Kamu akan di sekolahkan di sana, Nak. Banyak teman. Dan yang pasti tidak akan ada lagi yang menyakitimu."
"Yayasan?"
"Iya. Panti asuhan. Kamu akan tinggal di sana dan sekolah di sana. Kamu masih mau sekolah, kan?"
Alih-alih ingin protes dan bertanya banyak hal, aku justru mengangguk.
"Nah, di sana nanti kamu akan banyak teman. Kamu pasti betah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Kelam Sang Pendosa
Fiksi UmumSemoga Ayah mengerti perasaanku Yang haus kasih sayangmu Untuk Ibu, tahukah hati kecilku Kumenangis di setiap tidurku Sesak itu kembali datang. Dan bodohnya aku tetap memilih lagu itu untuk kunyanyikan. Mungkin karena luka telah menjadi candu bagik...