Bab. 10 Sebuah Janji

474 68 0
                                    

Bagian 10
Sebuah Janji

*

Terbayang disaat kita bersama
Disaat penuh cinta, canda dan tawa
Tak mungkin mudah untuk kulupa
Masa-masa yang indah, suatu kita bersama
Akankah mungkin kan terulang lagi
Masa-masa bahagia, yang kita lewati bersama
Kuyakin tak 'kan mungkin terjadi
Karena kau tlah bersamanya tinggalkan diriku 

"Itu Mas Ken gak ada lagu lain apa ya? Nyanyinya itu mulu." Mega berkomentar, menarik selimut dan merangkul boneka besar hadiah ulang tahunnya yang ke 17 waktu itu, dari Mas Ken. 

Aku hanya tersenyum menanggapi, juga sambil memeluk boneka bear warna cream ukuran sedang yang dibelikan Mas Ken tadi siang. Tidakkah ia dengar dari suara dan nadanya, Mas Ken menyanyikan penuh penjiwaan? Apalagi ditemani rintik hujan malam-malam. Siapa pun yang mendengar pasti akan tersentuh. Ada makna mendalam dari lirik lagu tersebut. Aku bisa merasakannya tanpa harus bertanya. 

Satu jam kemudian setelah berusaha untuk memejamkan mata, akhirnya aku menyerah. Percuma, karena setelah sekian tahun pun bayangan menjijikkan malam itu tetap mengganggu. Menyingkap selimut, dan memilih keluar kamar seperti biasa. 

"Pake jaket, Mas Ken. Nanti masuk angin." Aku menyodorkan jaket hitam hadiah dariku tahun lalu, yang selalu dipakai. Tadi kuambil dari ruang tamu, tergantung di dinding. 

Mas Ken menerima, lalu menggeser tubuh dan menepuk-nepuk bangku kayu yang ditempatinya tadi. "Sini duduk. Kirain udah gak mau nemenin lagi."

"Kemarin kan aku lagi marah sama Mas Ken." Aku duduk sambil memeluk boneka. 

"Siapa yang nyuruh marah?"

"Ish! Mas Ken bikin marah."

"Tapi gak ada yang nyuruh kamu marah, kan?"

"Mas Ken ish!" Aku memukul lengannya yang sudah terlapisi jaket. "Nyebelin!"

Mas Ken tertawa, kembali memangku gitar dan memetik senarnya pelan. "Berarti sekarang udah gak marah?"

"Enggak dong. Kan udah dikasih boneka baru." Aku memeluk semakin erat boneka itu.

Mas Ken melirik sekilas dan tersenyum. "Jangan-jangan abis ini ntar sering marah-marah, biar dikasih hadiah?"

"Dih! Kapan aku marah-marah? Gak pernah malah. Mas Ken tuh yang makin galak."

"Ya galak, kamu bandel begitu."

"Bandel apaan? Kan gak pacaran."

"Gak pacaran tapi surat-suratan."

"Ish! Itu cuma puisi. Bukan surat cinta."

"Sama aja."

"Bedalah."

"Sama."

"Terserah Mas Ken." Aku memanyunkan bibir.

"Ambekan sekarang."

"Iya. Biar dirayunya pake hadiah."

Mas Ken terbahak. "Ya udah sini dikasih hadiah lagu."

"Harus kuakui sulit cari penggantimu. Yang menyayangku." Aku menyanyikan lirik lagu yang biasa dinyanyikan Mas Ken, lalu terkekeh sendiri. "Lirik lagu yang penuh makna. Makna kehilangan yang mendalam. Iya kan, Mas Ken?"

Mas Ken tersenyum tipis, wajahnya berubah sendu. Tangannya masih memetik senar dengan irama sangat pelan. Tatapannya menerawang pada hujan yang semakin deras.

Aku pun mengikuti tatapannya. "Mas Ken percaya kalau berdoa saat hujan, maka doa kita akan didengar?"

"Entah."

Catatan Kelam Sang PendosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang