Bab. 16 Kejutan dari Raga

512 69 2
                                    

Bagian 16
Kejutan dari Raga

*

Mas Ken masih peduli denganku?

Kenyataan yang membuat hatiku semakin sesak. Rasa bersalah kian menyeruak. Ingin rasanya berteriak marah! Menyumpah serapah pada takdir yang mempermainkan. 

Mengapa harus seperti ini jalan yang kulalui?

"Kenapa jam segini belum pulang?" 

Pertanyaan itu langsung meluncur saat Mas Ken tiba di hadapanku.

Bibirku bergetar. Bukan karena kedinginan, tapi karena perasaan entah berantah bercampur menjadi satu dan sulit kuartikan. 

"Suka bikin aku khawatir?" Pertanyaan kedua kembali keluar. Lebih lugas dengan tatapan tegas.

Mas Ken khawatir denganku?

Pertanyaan itulah yang justru ingin kukeluarkan. Berharap bahwa aku sedang tidak bermimpi. Bahwa Mas Ken memang masih peduli.

"Ayo pulang!" 

Mas Ken berdiri di sampingku, membagi payung. Aku berjalan dengan menunduk, menggigit bibir agar isaknya tak bersaing dengan suara hujan.

Kami berjalan dalam diam. Entah apa yang Mas Ken pikirkan. Andai hujan sedang tidak mengguyur tubuh, mungkin air mataku terlihat jelas telah membanjiri wajah.

Semakin bertambah parah saat sampai di rumah. Mega, Ridho, Randi, Rio, semua menunggu duduk di depan. Seolah paham dengan keadaan tak biasanya, mereka tak bertanya banyak hal. Diam dengan tatapan iba.

*

Tubuhku terasa begitu dingin saat mulai terbangun dari tidur. Mencoba membuka mata, tapi kepala rasanya seperti ditimpa benda sangat berat. Sesuatu menyentuh dahi dan pipi, aku memaksa membuka mata.

"Bangun dulu, Ra. Makan terus minum obat, ya?" 

Mas Ken menyambut dengan tatapan iba. Ia duduk di pinggir ranjang, dan tangannya menyentuh dahiku. 

Aku melirik jendela yang telah terbuka tirainya. Cahaya matahari terlihat terang menerobos masuk dengan udara sejuk sisa hujan semalam. Jam berapa sekarang? Rumah pun terdengar sepi. Tidak seperti biasa pagi selalu rusuh oleh suara suara rebutan kamar mandi dan sebagainya.

"Udah pada berangkat sekolah tadi." Mas Ken menjawab ketika melihat raut wajahku seolah bertanya.

"Sekarang jam berapa?" Aku berusaha bangun dan Mas Ken membantu.

"Jam delapan."

"Hah? Kok Mas Ken gak bangunin?" Aku mendesis dengan tangan memegang kepala yang tiba-tiba terasa nyeri.

"Bangunin kamu buat apa, Ra? Kamu panas tinggi dari Subuh tadi." Mas Ken menyelipkan rambutku ke telinga dan kembali bertanya, "Kepalanya pusing, ya? Kamu pasti masuk angin gara-gara hujan-hujanan semalam."

Bukan menjawab, aku justru bertanya hal lain. "Berarti aku gak sekolah hari ini? Hari ini ada ulangan Matematika, Mas Ken."

"Kamu ini! Lagi sakit masih aja mikirin ulangan." Setelah mengomel, Mas Ken mengambil gelas berisi teh yang masih mengepul uapnya dan memberikan padaku. "Minum. Terus makan bubur ayam, ya? Tadi Rio yang beliin sebelum berangkat sekolah."

Aku hanya diam, melihat Mas Ken yang kembali meletakkan di meja teh yang kuminum setengah. Lalu mengambil mangkuk berisi bubur, pun masih terlihat panas. 

"Makan, Ra." Mas Ken menyendok, lalu menyuapkan padaku.

Mulut kubuka, masih dengan diam aku mengunyah pelan. Setetes air mata jatuh juga akhirnya walau kucoba menahan sekuat tenaga, melawan sesak di dada.

Catatan Kelam Sang PendosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang